“Sebagian pihak menyatakan bahwa FIFA jelas melarang penggunaan gas air mata dalam stadion. Pertanyaannya apakah polisi Indonesia berada di bawah FIFA? Ketika polisi menggunakan gas air mata, itu adalah tindakan sesuai protap ketika mereka harus mengendalikan kerusuhan yang mengancam jiwa,” imbuhnya.
Meski demikian ia mengakui, akibat gas air mata penonton berlarian panik dan sialnya pada saat mereka hendak keluar stadion ternyata panitia belum sempat membuka pintu keluar. Akibatnya terjadi penumpuan penonton, saling dorong, saling injak. Itulah yang menyebabkan tragedi terjadi.
“Pertanyaan saya apakah itu yang sisebut tindak represif dan pelanggaran HAM oleh polisi? Sekali lagi marilah kita bersikap objektif. Yang jadi pangkal masalah adalah suporter Arema yang sok jagoan, melanggar semua peraturan dalam stadion dengan gaya preman masuk ke lapangan, petentengan. Dalam pandangan saya polisi sudah melaksanakan kewajibannya,” jelas dia.
Apalagi kata Ade, polisi sejak awal sudah meminta agar jadwal pertandingan dimajukan menjadi pukul 15.30 WIB. Tapi pihak panitia berkukuh jam pertandingan tetap 20.00 WIB. Diduga ini terkait dengan jam tayang siaran langsung melalui televisi. Jam 20.00 WIB adalah jam siaran yang dianggap sebagai prime time, yang diminati para pengiklan. Tentu saja ini masih perlu dipastikan, walau masuk akal. Stadion pun hanya diisi oleh suporter Arema, tidak ada kuota bagi suporter Persebaya, polisi juga sudah meminta jumlah penonton dibatasi, sesuai kapasitas stadion.