"Sehingga pasal hukum mati dalam KUHP jelas bertentangan dengan UUD 1945," tegasnya lagi.
Ancaman Pers
Demikian juga dengan pasal-pasal yang dianggap ingin megintervensi atau melemahkan kebebasan pers, tidak luput dari sorotan. Misalnya Pasal 263 tentang penyebaran berita bohong, dan Pasal 264 terkait penyebaran berita tidak pasti atau berlebihan.
"Padahal setiap karya-karya jurnalistik itu sebelum dipublish melakukan verifikasi yang matang. Jadi bisa saja aparat penegak hukum menginterpretasi berbeda sehingga teman-teman jurnalis bisa dipidana," ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Didit Hariyadi.
Secara eksplisit, kedua pasal tersebut hendak memasukkan delik pers dan meruntuhkan doktrin lex specialis dalam sistem hukum pers yang berlaku. Padahal, karya jurnalistik tidak bisa dikriminalisasi karena memuat kepentingan umum.
Hal itu dijelaskan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers berikut Kode Etik Jurnalistik yang merupakan mekanisme khusus (lex specialis) dan diutamakan keberlakuan hukumnya (lex suprema) dalam kasus-kasus hukum yang menyangkut pemberitaan atau karya jurnalistik.
Tanpa perlindungan terhadap kebebasan pers, berarti ancaman demokrasi akan makin nyata. Begitu juga dengan kebebasan sipil, serta hilangnya kontrol publik atas tindakan kesewenang-wenangan.
"Jadi kami menolak RKUHP ini karena banyak pasal-pasal bermasalah, padahal ini negara demokrasi. Jika disahkan, ini demokrasi kita dibungkam atau bahkan mati," tegas Didit.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat setidaknya ada 12 pasal yang dipersoalkan mereka bersama dengan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Pasal-pasa tersebut dianggap akan mematikan demokrasi di Indonesia.