Apalagi, lanjut Hensat, secara logika, ”kemarahan” pada sikap Nasdem kurang tepat. Sebab, komitmen untuk berkoalisi pasca-Pemilu 2019 dengan keputusan Nasdem mengusung Anies Baswedan untuk Pemilu 2024 merupakan momentum berbeda.
Menurut Hensat, tidak ada kewajiban bagi partai dalam sebuah koalisi untuk selalu bersama dari pemilu ke pemilu. ”Kalau presiden tersinggung dengan Nasdem dan diganti, itu mencoreng level kenegarawanan,” ulas dia.
Kalaupun dilakukan, pemilihan menteri baru tidak juga mudah dan bisa saja menciptakan friksi. Jika nama yang digadang-gadang seperti F.X. Hadi Rudyatmo dimasukkan, misalnya, bisa muncul persoalan dengan PDIP. Sebab, Rudy (sapaan F.X. Hadi Rudyatmo) dikenal sebagai pendukung Ganjar Pranowo.
”Masak iya tinggal setahun mau menimbulkan friksi?” tuturnya. Menurut Hensat, di sisa dua tahun sebaiknya presiden mulai fokus untuk bagaimana mengakhiri pemerintahan dengan soft landing. Sehingga bisa meninggalkan kursi dengan kesan baik.
Jika ingin reshuffle, keputusannya harus berbasis kinerja. ”Kalau misalnya ternyata presiden (melakukan, Red) reshuffle buat para menteri (yang) sibuk nyapres, itu keren. Masyarakat tepuk tangan,” jelasnya.
Di tempat yang sama, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra juga berharap Presiden Jokowi tidak baper dengan Nasdem. Dia mengingatkan, Nasdem adalah partai yang sudah mendukung sejak periode pertama. ”Kami juga dengan Nasdem dulu di kubu yang berbeda,” ujarnya.
Bagi Herzaky, jika sikap politik Nasdem pada 2024 dikaitkan dengan kabinet, itu merupakan bentuk campur tangan presiden. Padahal, mendukung capres mana pun merupakan kewenangan mutlak partai. ”Biarkan proses kandidasi berlangsung alami,” tuturnya. (jpg/fajar)