Inflasi Tekan Kelas Bawah di Sulsel, Perlu Strategi Jelang Ramadan

  • Bagikan
KETAHANAN PANGAN. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) dan Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman (kanan) pada kegiatan Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) Sulawesi Selatan Tahun 2023, di Balai Prajurit Jenderal M Jusuf, Gedung Manunggal, Minggu, 5 Maret 2023. NOFISARI/FAJAR

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Inflasi Sulsel turun. Meski demikian, angkanya masih tinggi untuk level menengah dan bawah.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Sulsel Februari sebesar 5,65 persen (yoy). Turun dibandingkan Januari yang di angka 5,83 persen. Meski begitu, peluang naik lagi sangat terbuka.

Masalah kesenjangan akan terjadi jika tak segera ditekan. Kelompok ekonomi bawah dan menengah yang akan paling merasakan dampaknya. Kenaikan harga-harga menekan kelas lower middle income.

Pada periode saat ini, inflasi pasti akan merangkak naik dan ke depannya akan lebih tinggi lagi. Hal tersebut dikarenakan masuk dalam siklus menjelang Ramadan sampai dengan Lebaran, selalu berlangganan dengan kenaikan inflasi.

"(Inflasi naik karena) masyarakat memang menambah permintaannya," ujar Anas Iswanto Anwar, pakar ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas), Minggu, 5 Maret.

"Kemudian yang kedua banyak gangguan sekarang akibat iklim cuaca yang tidak mendukung. Cuaca itu bisa merusak produksi dan juga pasti akan mengganggu distribusi barang," sambung Wakil Dekan Bidang Kemitraan, Riset, dan Inovasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unhas ini.

Pemerintah harus berperan untuk mengendalikannya. Kalau inflasi terus meningkat, konsekuensinya daya beli masyarakat akan terus turun. Dalam jangka panjang bisa berdampak luas terhadap masyarakat menengah ke bawah.

"Karena satu sisi pendapatannya kurang dan harga naik. Itu masalahnya," jelas lulusan magister di Griffith University Australia itu.

Memang ada komoditas atau produk yang menjadi leading sector dan menjadi penggerak inflasi. Selama ini yang menjadi penggerak di antaranya bawang, cabe, telur, minyak goreng, dan sembako. Kala sembako naik, komoditas lain yang tidak berpengaruh ikut-ikutan naik.

"Sama juga di perumahan (properti). Katakanlah semen. Kalau semen itu naik, maka biasanya semua yang lain-lain itu pada naik. Jadi itu yang dijaga, kan, selama ini bahan bakar minyak (BBM) naik, pasti semua ikut naik," tutur dosen FEB Unhas ini.

Saat ini BBM relatif stabil pasca naik pada 3 September 2022. Yang perlu dijaga adalah komoditas lain yang memicu inflasi itu. Pemicu itu yang perlu dikawal ketat supaya yang lain tidak ikut-ikutan naik

Daya Beli

Merujuk data BPS, inflasi nasional Februari 2023 menurun dibandingkan Januari. Pada bulan lalu tercatat 5,47 persen (year on year/YoY). Sedangkan, berdasar month to month (MtM) turun dari 0,34 persen sebelumnya menjadi 0,16 persen. Inflasi didorong oleh penurunan harga kelompok inti dan volatile food.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan, dunia usaha sangat mengapresiasi perkembangan ini. Hal itu membuktikan pemerintah dan semua instrumen kebijakannya berupaya mengendalikan inflasi dengan baik.

”Penurunan itu sejalan dengan normalisasi pola musiman awal tahun, khususnya komoditas kelompok perumahan,” ujar Ajib.

Akan tetapi, kondisi itu tetap perlu dikritisi. Sebab, bisa jadi inflasi yang terjadi adalah karena harga pokok penjualan (HPP) yang dibangun dalam sebuah ekosistem bisnis. Sehingga, harga relatif lebih terkontrol.

”Sisi lain yang perlu kita cermati adalah likuiditas masyarakat yang berkurang. Faktor permintaan pun berkurang. Kalau indikator itu benar, bahwa likuiditas berkurang, maka akan ada potensi menurunnya pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama 2023, dibandingkan dengan kuartal keempat 2022,” bebernya.

Dalam konteks tersebut, paling tidak ada tiga poin yang harus dianalisis secara kritis. Pertama, tren pertumbuhan ekonomi yang terus naik. Kedua, inflasi yang terkendali, dan ketiga adalah kesenjangan ekonomi yang harus terus berkurang sehingga kualitas pertumbuhan ekonomi menjadi lebih bagus.

”Lantas, bagaimana kondisi ekonomi ke depannya? Harapannya kita tentu, pemerintah mendorong regulasi yang memberikan insentif agar likuiditas terus terjaga di masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi terus terjaga dengan baik,” tegasnya.

Menurut dia, hal itu relevan dengan imbauan Presiden Jokowi agar Indonesia lebih banyak melakukan konsumsi. Karena akan sulit untuk masyarakat melakukan konsumsi ketika likuiditas berkurang atau ketika terlalu banyak disinsentif, baik fiskal dan moneter.

”Misalnya, suku bunga acuan yang terus naik. Terlebih lagi tren untuk satu-dua bulan ke depan, menghadapi masa Ramadan dan Lebaran, yang tentu akan membuat demand cenderung naik dan secara alamiah inflasi akan terkerek naik,” ucapnya.

Faktor Tren

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan jika inflasi inti menurun, salah satunya mengindikasikan tren daya beli masyarakat menurun.

Sebaliknya, jika inflasi inti meningkat, maka menunjukkan tren daya beli masyarakat meningkat.

Sebab, inflasi inti salah satunya didorong oleh pendapatan dari masyarakat yang meningkat, yang kemudian mendorong aktivitas masyarakat, dan perdagangan.

"Inflasi inti yang meningkat menunjukkan daya beli masyarakat yang meningkat, kalau inflasi inti menurun mengindikasikan turunnya daya beli,” paparnya. (ams/agf/dio/jpg/zuk-dir/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan