Alshad Ahmad Nikahi Nissa Asyifa dalam Kondisi Hamil, Ini Hukumnya Menurut Kompilasi Hukum Islam

  • Bagikan
Ilustrasi pernikahan

Pasal 53 ini cukup jelas menjawab pertanyaan di masyarakat umum yang menanyakan apakah perlu menikah ulang ketika pernikahan dilangsungkan dalam keadaan hamil? Tentu jawabannya adalah tidak perlu diulang dan pernikahannya sah.

Pemahaman mengenai tidak sahnya pernikahan ketika hamil adalah berpedoman pada pertama, pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai ia melahirkan kandungannya.

Kedua, Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan bagi yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain.

Hal ini diqiyaskan (dianalogi) dengan, “Kalau satu orang mencuri buah dari satu pohon, ketika itu haram. Kemudian dia beli pohon itu, maka apakah buahnya tadi masih haram atau sudah halal? Itu sudah halal. Tadinya haram kemudian menikah baik-baik maka menjadi halal”.

Tapi agar tidak salah paham. Apakah dia terbebas dari dosa berzina ataukah dia terbebas dari murka Tuhan? Tentu tidak. Itu tadi dari segi hukum. Dalam pandangan madzhab ini, wanita yang zina itu tidak mempunyai iddah. Adapun jika melangsungkan pernikahan, maka nikahnya tetap sah.

Pendapat yang ketiga dari Malikiyyah, tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu.

Pendapat yang keempat dari Madzhab Hanafiyyah masih terdapat perbedaan pendaan pendapat, di antaranya :

  1. Pernikahan tetap sah , baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak.
  2. Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan.
  3. Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan.
  4. Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).

Adapun pada Pasal 54 pada bab VIII ini berisi tentang pernikahan dalam keadaan ihram. Pada ayat 1 yaitu selama seorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. Pada ayat 2 menjelaskan tentang apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan