FAJAR.CO.ID -- Pernikahan Nabi Muhammad saw dengan St Aisyah ra, seringkali jadi bahan olok-olokan sejumlah pihak yang tidak senang dengan Islam. Bahkan, tidak jarang mereka menuding Nabi yang mulia ini dengan tuduhan keji.
Lalu, bagaimana sebenarnya pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad? Berikut hasil kajian yang dikutip fajar.co.id dari laman suaraaisyiyah.id, tulisan tersebut ditulis salah satu kader Aisyiyah yang merupakan Organisasi Otonom (Ortom) bidang perempuan dari persyarikatan Muhammadiyah:
Praktik pernikahan anak seringkali merujuk pada pernikahan Rasulullah saw dengan ‘Aisyah, ketika beliau berusia 6 (enam) tahun. Hal itu berdasar hadis yang artinya, “Dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw menikahinya ketika berumur 6 tahun dan mulai hidup bersama ketika usianya 9 tahun” (HR Bukhari).
Hadis itu oleh para fuqaha dipahami bahwa Nabi Muhamamd saw menikahi ‘Aisyah ra., yang saat itu berusia 6 tahun dan hidup bersama satu rumah dengan Rasulullah saw pada usia 9 tahun. Dari pemahaman itu, maka pernikahan anak-anak seakan memiliki landasan nash dalam Islam. Praktik pernikahan anak dalam masyarakat mengacu pada paham tersebut. Mereka juga berpandangan, daripada zina, lebih baik nikah, meski masih usia anak, belum mandiri secara ekonomi, sehingga masih tergantung pada orang tua.
Dalam konteks kekinian, hadis dimaksud perlu dibaca secara komprehensif dari berbagai perspektif, sehingga memperoleh pemahaman positif sejalan dengan maqashidut-tasyri’ yang dikembangkan dalam Fikih yang memashlahatkan, yang dilandasi nilai-nilai rahmah, mashlahah, kelembutan, kebaikan, keutamaan, kesetaraan, dan keadilan.
Bacaan kritis terhadap hadis tersebut dengan mempertimbangkan aspek sanad hadis, faktor historis, kondisi sosio antropologis masyarakat Arab dan kondisi kematangan jiwa ‘Aisyah, serta aspek tarikh tasyri’, maka dapat dipahami bila Islam tidak menganjurkan perkawinan anak.
Pertama, aspek sanad hadis. Terhadap hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan Bukhari tentang pernikahan ‘Aisyah tersebut di atas telah dilakukan kritik hadis. Riwayat hadis tentang usia ’Aisyah ra. ketika melakukan pernikahan tersebut di atas hanya berasal dari Hisyam bin ’Urwah sehingga hanya Hisyam sendirilah yang menceritakan umur ‘Aisyah saat dinikahi Nabi, tidak oleh Abu Hurairah atau Anas bin Malik.
Hisyam pun baru meriwayatkan hadis ini pada saat di Irak ketika usianya memasuki 71 tahun. Ya’qub bin Syaibah mengatakan tentang Hisyam, ”apa yang dituturkan Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang diceritakannya saat ia menetap di Irak”. Syaibah menambahkan bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan ke penduduk Irak. Menurut para ahli bahwa tatkala usia Hisyam sudah lanjut, ingatannya sangat menurun. Dengan demikian riwayat yang menyebutkan usia pernikahan ‘Aisyah ra. yang bersumber dari Hisyam bin ’Urwah patut dikritisi pula.
Kedua, aspek historis. Usia pernikahan ’Aisyah perlu dilihat dari sisi historis. Menurut Ath-Thabari, keempat putra Abu Bakar As-Siddiq dilahirkan istrinya pada masa Jahiliyah, artinya mereka -termasuk Aisyah- dilahirkan sebelum tahun 610 M.
Jika Aisyah dinikahkan saat usia 6 tahun, maka lahir pada tahun 613 padahal semua putra Abu bakar lahir sebelum tahun 610 M. Dengan merujuk Ath-Thabari, ‘Aisyah tidak dilahirkan pada tahun 613 melainkan sebelum 610. Jika ‘Aisyah dinikahkan sebelum tahun 610 M, maka beliau dinikahkan pada usia di atas 10 tahun dan hidup sebagai istri serumah dengan Nabi pada usia di atas 13 tahun.
Menurut Abdurrahman bin Abi Zinad, Asma kakak beradik dengan ’Aisyah, ia 10 tahun lebih tua. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, usia Asma sampai 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriyah. Ini berarti bahwa saat peristiwa Hijrah, usia Asma sekitar 27 atau 28 tahun (100-73). Karena usia ’Aisyah terpaut 10 tahun dengan Asma, maka usia ‘Aisyah saat pertama kali satu rumah dengan Nabi adalah antara 17 dan 18 tahun.
Ketiga, aspek sosio antropologis. Dalam membaca hadis pernikahan ‘Aisyah dimaksud, jika riwayat tersebut benar maka pernikahan tersebut perlu dibaca dari sisi sosio antropologis. Usia pernikahan itu relatif tergantung dari budaya masyarakat, era, dan tempat. Antara masyarakat satu dengan lainnya, satu tempat ke tempat lain, dan era berbeda, akan tampak budaya dan tradisi beragam.
Untuk masyarakat perkotaan modern usia pernikahan perempuan berkisar dari 20 hingga 25 tahun lain halnya dengan masyakat pedesaan dimana gadis pada usia belasan tahun sudah dipersunting para pemudanya yang juga berusia relatif muda. Boleh jadi masyarakat Arab Badui yang belum mengenal sekolah formal sebagaimana yang djumpai di perkotaan negara-negara Arab juga mengalami hal yang sama. Meskipun demikian jika ini dikaitkan dengan ‘Aisyah, usia mudanya diimbangi dengan kedewasaannya sebagaimana sering dikatakan ia jauh lebih dewasa dari perempuan seusianya, karena faktor kepribadian, keilmuan, dan aktivitasnya dalam membimbing masyarakat.
Keempat, aspek al-ahwâl asy-syakhshiyyah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat bahwa ‘Aisyah dipersunting Nabi berdasarkan perintah Allah yang hadir melalui mimpi. Nabi saw mengisahkan mimpinya kepada ‘Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ مَرَّتَيْنِ أَرَى أَنَّكِ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ وَيَقُولُ هَذِهِ امْرَأَتُكَ فَاكْشِفْ عَنْهَا فَإِذَا هِيَ أَنْتِ فَأَقُولُ إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ يُمْضِهِ
‘Aisyah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda kepadanya, “diperlihatkan kepadaku tentang dirimu dalam mimpiku sebanyak 2 (dua) kali. Aku melihatmu pada sehelai sutra dan ia (malaikat) berkata kepadaku, “inilah istrimu, maka lihatlah! Ternyata perempuan itu adalah dirimu, lalu aku mengatakan, “jika ini memang dari Allah, maka Dia pasti akan menjadikan hal itu terjadi” (HR Bukhari).
Dalam kaitan ini juga perlu dicatat bahwa ‘Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang dipersunting di waktu gadis dan muda. Ini penting untuk disampaikan karena apa yang dilakukan Nabi selalu disertai dengan tujuan-tujuan mulia yang menyertainya. Demikianlah pernikahannya dengan ‘Aisyah dimaksudkan sebagai cara untuk memelihara ilmu-ilmu Islam yang berkaitan dengan al-ahwâl asy-syakhshiyyah karena apa yang dilakukan Nabi bersama ‘Aisyah merupakan sumber keilmuan Islam. Hal ini terbukti bahwa ’Aisyah ra meriwayatkan sebagian besar hadis-hadis Nabi, terutama permasalahan perempuan dan keluarga.
Kelima, aspek tarikh tasyri’. Dari sisi tarikh tasyri’, peristiwa pernikahan ‘Aisyah dengan Nabi Muhammad saw. terjadi pada periode Makkah. Masa tersebut merupakan masa turunnya ayat-ayat yang menuntunkan tentang akidah dan akhlak, belum memasuki masa-masa tasyri’ yaitu masa dirumuskannya hukum-hukum far’iyyah ‘amaliyyah. Dengan demikian maka peristiwa tersebut tidak dapat dijadikan landasan penetapan pernikahan usia anak-anak. (suaraaisyiyah/fajar)