Ideologi Islam transnasionalis ini, ujar almarhum Mbah Hasyim Muzadi, merusak eksistensi Islam santri. Sebab kata santri menunjukkan Islam yang khas Indonesia. Pinjam Lukman Saifuddin, Menteri Agama RI (2014-2019), seorang muslim tak bisa dikatakan santri jika tidak berwatak nasionalis. Santri dan nasionalisme, kata tokoh Partai Persatuan Pembangunan itu, tidak bisa dipisah-pisahkan.
Sejarah kesantrian dan keislaman tertanam kuat pada umat Islam Indonesia, khususnya jam'iyah Nahdliyin. Kalimat hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman) adalah "kalimat azimat" yang selalu didengungkan KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU.
Perlawanan pejuang Indonesia menghadapi Sekutu -- yang diboncengi Belanda yang mendarat di Surabaya, 10 November 1945 -- adalah bukti nyata betapa dahsyatnya semangat juang para santri melawan penjajah karena cintanya pada tanah air. Sebab cinta pada tanah air adalah bagian dari iman. KH Hasyim Asy'ari sendiri yang mendeklarasikan bahwa perang melawan Sekutu di Surabaya adalah jihad fi sabilillah.
Perang besar-besarn tanggal 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, menyadarkan Pemerintah Inggris bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah nyata; kehendak rakyat Indonesia. Ini terlihat dari betapa dahsyatnya perlawanan rakyat yang bersenjata bambu runcing melawan pasukan Inggris yang bersenjata modern.
Sebelumnya, Belanda meyakinkan Inggris dan Amerika Serikat sebagai pemenang Perang Dunia kedua, bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 hanya kemauan segelintir elit politik. Bukan kemauan rakyat Indonesia.