Sejarah dan Fiksi Sejarah Tidak Sama

  • Bagikan
Ilustrasi. (Foto: Istock)

Sementara itu, sejarah diterangkannya sebagai kumpulan data dari masa lalu. Baik yang berserak, hilang, atau sengaja dihilangkan.

Lalu sebisa mungkin mengembalikan konteks dari setiap data. Sehingga pembaca bisa membaca kembali urutan atau kronologi peristiwa di masa lalu.

Soal sejarah, ia menggugat buku-buku sejarah yang ada. Terutama yang disekolah. Menurutnya, buku tersebut hanya merekam orang-orang besar. Tidak ada budak, atau pun orang-orang kecil lainnya.

Apalagi sejarah di masa kolonial, ia menilai pembaca terkungkung dengan narasi di buku sejarah. Melihat penjajahan Belanda dengan hitam dan putih.

“Belanda datang ke negeri kita pada abad 17 sampai 1945. Sekian lamanya tapi zaman itu tidak populer bagi kita. Seolah sangat sempit. Hitam putih. Belanda karena penjajah jahat, dan Indonesia baik. Kita melihatnya hanya dua kutub. Baik dan buruk. Titik,” kata Iksaka Banu.

Itulah yang coba ingin disampaikan Iksaka Banu dalam bukunya, Rasina. Penerima Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa itu menulis Rasina dengan latar belakang sejarah kolonial.

Rasina seorang budak bisu yang leluhurnya menjadi korban pembantaian massal saat masa kolonialisme Belanda.

Sebagai pelayan rumah tangga sekaligus budak nafsu tuannya, Rasina menjadi saksi hidup banyak hal tak terduga yang membuat jiwanya terancam. (Arya/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan