Seluk Beluk Mangngaro dari Mamasa, Membungkus Ulang Jenazah dengan Pakaian Baru

  • Bagikan
Upacara Adat Kematian Mangngaro

FAJAR.CO.ID -- Indonesia kaya akan ragam adat dan tradisi budaya pada setiap daerahnya. Salah satunya daerah Kabupaten Mamasa. Mamasa adalah salah satu wilayah pegunungan Sulawesi Barat.

Masyarakat mamasa merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke satu generasi lainnya.

Salah satu adat istiadat di Mamasa adalah ritual upacara adat kematian mangngaro. Upacara adat ini sudah dilakukan secara turun-temurun.

Mangngaro merupakan salah satu profesi upacara kematian yang dilakukan oleh masyarakat Mamasa. Mangngaro adalah ritual membungkus jenazah yang wajib dilakukan utamanya masyarakat yang berada di Kecamatan Nosu, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.

Kata Mangngaro berasal dari kata ‘mang’ yang artinya melakukan dan kata ‘aro’ yang artinya keluar, yang berarti sedang mengeluarkan. Sekilas ritual ini hampir mirip dengan ritual Ma’nene di Tana Toraja.

Ritual mangngaro biasanya dilakukan sekali dalam setahun untuk mengeluarkan jenazah dari liang lahatnya yang berbentuk seperti lumbung (alang) dan diarak menuju tenda (lattang) yang berada di hamparan tanah datar.

Ciri khas dari tradisi mangngaro ini ialah pakaian yang dikenakan oleh jenazah tidak diganti melainkan hanya kain pembungkusnya saja, berbeda dengan tradisi Ma’nene yang menganti seluruh pakaian jenazah dengan pakaian yang baru.

Adapun tata cara yang biasa dilakukan pada tradisi mangngaro ini yaitu, sebelum proses mangngaro dilakukan keluarga terlebih dulu harus berziarah ke kubur ( meollong ) dan setelah itu barulah jenazah tersebut dapat di aro’.

Setibanya di kuburan, jenazah yang akan di aro’ dikeluarkan dari liang dan di arak ke sebuah tenda yang menjadi tempat keluarga perempuan berkumpul.

Setelah semua jenazah dikeluarkan dan dikumpulkan para keluarga berkumpul lalu melakukan arak-arakan yang melintasi pematang sawah menuju tenda atau lattang yang sudah disediakan sebagai tempat persemayaman.

Arak-arakan menuju tenda tersebut disebut dengan ma’titting dan prosesi ini memiliki daya tariknya tersendiri, dimana para perempuan yang berpakaian adat serba hitan berjalan paling depan sambil menbentangkan kain merah dan diikuti barisan anggota keluarga yang menggotong jenazah yang berbentuk seperti bantal guling besar itu.

Selanjutnya para jenazah tersebut disemayamkan dibawah lattang selama satu malam untuk dilakukan proses pembungkusan ulang.

Keesokan harinya, tradisi mangngaro dilanjutkan dengan menyembelih hewan ternak seperti babi dan kerbau yang digunakan sebagai bahan persembahan sebelum jenazah diarak kembali ke alang-alang atau liang lahat.

Tradisi mangngaro ini pada jaman dahulu hanya dilakukan oleh kaum bangsawan dengan tingkat ekonomi yang tinggi sebab tradisi ini membutuhkan pengorbanan dana yang cukup besar karena harus menyembelih hewan ternak yang cukup banyak.

Namun pada jaman sekarang tradisi mangngaro ini sudah bisa dilakukan oleh masyarakat karena menurut mereka dengan mengadakan upacara ini adalah salah satu bentuk penghormatan mereka kepada orang yang telah meninggal. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan