Mereka merujuk pada Perpres 125/2016 yang mengatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi.
Pasal 17 dan 18 dari Perpres tersebut menegaskan tentang penanganan pengungsi setelah mereka mendarat, yang melibatkan Basarnas dan koordinasi antara instansi pemerintah dan masyarakat.
"Tidak ada ketentuan dalam Perpres ini untuk adanya penghalangan atau pencegahan pengungsi untuk masuk ke wilayah Indonesia, Pemerintah Pusat punya tanggung jawab dan peran aktif seharusnya disini," ujarnya.
Menurutnya, penolakan terhadap pengungsi dan pengembalian mereka ke laut setelah mendarat melanggar prinsip 'non-refoulement', yang merupakan kewajiban internasional bagi setiap negara.
Dalam konteks penderitaan yang dialami oleh pengungsi Rohingya, yang terpaksa berpindah tempat mencari kehidupan baru, tidak bisa dipisahkan dari sejarah kekerasan yang mereka alami di Myanmar selama puluhan tahun.
Terlebih lagi, kekerasan tersebut masih berlanjut di Myanmar hingga sekarang. Aceh sendiri pernah mengalami situasi serupa saat konflik terjadi di masa lalu, memaksa banyak warga Aceh mencari perlindungan di luar negeri.
Husna menegaskan bahwa ketika pemerintah diam atau mengabaikan apa yang sedang terjadi, terutama dengan membiarkan pengungsi ditolak dan dikembalikan ke laut, hal ini jelas tidak menunjukkan adanya empati.
"Kami minta pemerintah untuk menolong para pengungsi. Negara juga diminta segera meratifikasi Konvensi 51 tentang Pengungsi," pungkas Husna. (ant)