FAJAR.CO.ID — Kedatuan Luwu pernah menjadi kerajaan terbesar di masa-masa awal Sulawesi Selatan. Luwu memegang supremasi di Pantai Timur Sulawesi Selatan.
Dalam ekspansinya, Luwu bergerak ke Selatan mengikuti garis pantai hingga ke muara Sungai Cenrana bergerak ke daerah pedalaman Wajo dan Soppeng hingga belok ke Bone.
Di masa pemerintahan Datu Luwu, Dewaraja Datu Kelali’ Tosangerreng sekitar akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16.
Saat itu, Wajo menjadi taklukan Luwu. Lalu keinginan Dewaraja Datu Kelali’ Tosangerreng untuk menjadikan Sidenreng Rappang sebagai taklukkan mendorong Luwu membuat konsesi dengan Wajo.
Berdasarkan kronik Wajo, selama dua kali Luwu menyerang Sidrap tapi tak berhasil. Pada serangan ketiga Sidrap ditaklukkan.
Setahun menaklukkan Sidrap, perselisihan dengan Arungpone atau Raja Bone La Ténrisukki membuat Luwu menyerang Bone.
Luwu mengirimkan pasukannya di Selatan Céllu di mana ia membangun basis. Dalam perang ini, Dewaraja Datu Kelali’ Tosangerreng dan pasukan Luwu berhasil dipukul mundur.
Akhirnya, Raja Bone memerintahkan agar Dewaraja Datu Kelali’ Tosangerreng tidak dibunuh, jadi dia dibiarkan melarikan diri dengan dua puluh pengawalnya. Dalam pertempuran itu patung merah, lambang Kedatuan Luwu, direbut oleh Bone.
Kekalahan ini diikuti oleh perjanjian yang disebut ‘Polo Malaelae di Unnyi, atau “Pematahan Senjata (Perdamaian) di Unnyi” (Noorduyn 1955:69-70; Zainal Abidin Ibid., 85).
Sejarawan, Leonard Y Andaya menyebut, kemenangan ini, yang terjadi sekitar akhir abad ke-15 atau permulaan abad ke-16, membuka lembaran periode baru di mana Bone menggantikan Luwu sebagai kekuatan terdepan di timur semenanjung Sulawesi Selatan.