“Lihat saja dulu, bagaimana Prabowo menggebrak-gebrak meja, bilang ndasmu terkait pertumbuhan ekonomi, tidak butuh kartu-kartu, mendebat aspirasi Kyai, acuh kepada warga kampung, ataupun selainnya,” kritiknya.
Gimik gemoy, kata Gus Raharjo, juga sebagai upaya mengaburkan ketidakmampuan dalam mengelola pemerintahan. Tindakan pasangan ini membuat masyarakat kehilangan daya kritis.
“Jika ini terus berlanjut. Atau memang ini tujuannya, supaya ketika terpilih jadi pemimpin bisa membungkam suara rakyat alias menjadi negara diktator,” katanya.
Dia khawatir, jika pasangan Prabowo-Gibran terpilih, Indonesia akan menjadi negara demokrasi ‘rasa diktator’, seperti pada era Orde Baru (Orba), di mana kebebasan berpendapat dibatasi.
“Semua orang bisa menilai sendiri, bagaimana niatan dan tindakan capres-cawapres dari Kubu KIM. Apakah mereka tulus mengabdi atau hanya setingan untuk bisa berkuasa? Dan Perlu diingat Prabowo pernah bilang begini “Kami Ingin Berkuasa” sekaligus dia mengajarkan “orang berkuasa bisa mengatur sesuka hati dan yang lemah harus mengikuti penguasa, suka tidak suka, mau tidak mau harus nurut,” ujarnya.
Senada dengan kritik yang disampaikan dosen Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Gregory Budiman. Melalui akun instagramnya, @dr.gregorybudiman mengunggah video kritikan terhadap strategi kampanye pasangan Prabowo-Gibran.
Dia menuturkan, politik riang gembira yang kerap digaungkan oleh pasangan capres-cawapres nomor 2 ini adalah tindakan pembodohan kepada rakyat. Politik riang gembira dengan menampilkan gimik gemoy hanyalah upaya kamuflase untuk menutupi aib.