Dia menambahkan, debat Cawapres juga ounya posisi strategis, agar gagasan yang disampaikan juga bisa mempertegas tugas pokok dan fungsinya nanti. ”Debat Cawapres sangat strategis, untuk mengeksplorasi gagasan Cawapres dalam menjalankan tupoksinya ketika terpilih,” imbuhnya.
Sementara Pembina Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai, Pasal Penjelasan Pasal 277 ayat (1) UU 7/2017 dan Pasal 50 ayat (1) PKPU 15/2023 tentang kampanye tegas mengatur bahwa debat paslon pilpres berlangsung 5 kali, meliputi 3 kali debat capres dan 2 kali debat cawapres.
”Kan sudah jelas dalam aturannya. Dengan demikian, mestinya KPU konsisten saja melaksanakan apa yang sudah menjadi ketentuan,” katanya.
Meskipun capres diminta hadir namun tetap saja bahwa debat itu harus berlangsung antara cawapres dan tidak melibatkan capres untuk menjawab. Penyampaian visi, misi, dan program bisa dilakukan bersama, namun debat tepat harus hanya diikuti oleh cawapres dalam hal debat antarcawapres.
Format debat yang diatur dalam UU Pemilu kata dia harus diakui memang tidak menarik. Sebab tidak membuka ruang dialog antara calon dan moderator atau audiens.
Bahkan UU menyebut selama dan sesudah berlangsung debat pasangan
calon, moderator dilarang memberikan komentar, penilaian, dan simpulan apa pun terhadap penyampaian dan materi dari setiap pasangan calon. Sehingga memang tidak banyak ruang gerak yang bisa dilakukan selain berfokus pada pertanyaan yang sudah disiapkan panelis.
Mestinya, mekansime debat bisa dikembangkan dengan memberi kesempatan pendalaman kepada para panelis. Bahkan, untuk ketepatan dalam pembahasan isu, panelis mestinya bisa berasal dari pihak-pihak yang terdampak langsung dengan tema yang menjadi bahasa debat.