Sehingga, kata dia, dilepaskannya tahanan tersebut harus melalui persetujuan RT atau RW dan juga Babinkamtibmas.
"Sehingga efek psikologisnya, si anak yang akan dikeluarkan sebentar ini merasa ternyata RT RW ini betul-betul punya peran," tukasnya.
Artinya, dituturkan Prof Heri, ketika narapidana itu kembali ke tempat tinggalnya, dia tidak lagi memandang sebelah mata ketua RT atau RW dan Babinkamtibmas.
"Ketika dia kembali, dia hormat kepada RT RWnya, hati-hati kalau bukan itu nda dilepaski itu. Ini untuk proses pembinaan," tegasnya.
Prof Heri menyinggung program yang digagas Brigjen Pol Budi Haryanto saat menjabat sebagai Kapolrestabes Makassar.
"Kan begini sebenarnya, sudah pernah ada program dalam pembentukan Batalyon 120," kata Prof Heri.
Dikatakan Prof Heri, dari awal dirinya tidak setuju dengan cara-cara pendekatan dengan memberikan wadah kepada para mantan narapidana.
"Memang dari awal saya tidak setuju dengan cara begitu, karena efek psikologisnya pertama, jangan-jangan para pelaku anak ini, gerombolan ini merasa dekat dengan pihak Kepolisian, dia merasa ada tameng," lanjutnya.
Prof Heri kemudian mengingatkan ketika pimpinan atau wakil ketua Batalyon 120 AA alias Tejo ditangkap karena melakukan kejahatan.
"Bukti, beberapa lalu itu kan komandannya ada yang ditangkap karena sering melakukan kejahatan, kekerasan dan sebagainya. Mungkin dia merasa dekat aparat Kepolisian," Prof Heri menuturkan.
Lebih lanjut kata Prof Heri, busur sejatinya masuk dalam UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak, termasuk di dalamnya senjata tajam.