Maka, perang-perang berikutnya yang dilancarkan Gowa terhadap tetangganya berdalih untuk mengabarkan pada penguasa lain bahwa Islam, khususnya Islam Sufi, adalah “sebuah jalan yang lebih baik”.
Awalnya, Gowa mengajak Bone dan Soppeng untuk memeluk Islam, namun keduanya menolak.
Menurut salah satu sumber, Soppeng menolak dengan mengirimkan sebuah gulungan kapas dan roda putar (Noorduyn 1955:94-5), ejekan tradisional terhadap maskulinitas seseorang.
Gowa kemudian menyerang Soppeng lewat Sawitto pada tahun 1608 yang mengawali apa yang dikenal dengan “Perang Islam” (musu’ aséllénnge dalam bahasa Bugis, bundu’ kasallanga Makassar).
Di daerah Pakenya, tentara Gowa dikalahkan oleh Téllumpocco setelah tiga hari bertempur dan dipaksa untuk mundur.
Tiga bulan kemudian, Gowa menyerang lagi, kali ini melawan Wajo. Sebagaimana yang terjadi di masa lalu, beberapa daerah bawahan (palili’) Wajo, seperti Akkotengéng, Kera dan Sakuli, meninggalkan Wajo untuk beralih pada kerajaan yang mereka percaya kekuatannya lebih besar. Namun sekali lagi, Téllumpocco tetap bersatu dan mengalahkan Gowa (Noorduyn 1955: 95).
Sebagai kerajaan Islam pertama di Sulawesi Selatan, Luwu menjadi sekutu Gowa karena alasan politis dan religius.
Luwu menyerbu Peneki di Wajo namun dapat dipukul mundur setelah lima hari. Meski awalnya Téllumpocco berhasil, Gowa tidak surut dalam peran barunya sebagai penjaga Islam dan akhirnya berhasil pada tahun 1609 memaksa Sidenreng memeluk agama baru ini.
Setelah keberhasilan ini, kerajaan Bugis lain mengikuti dengan cepat: Soppeng tahun 1609, Wajo tahun 1610 dan akhirnya Bone tahun 1611.