Dia pulang ke Benteng Ujung Pandang dan meminta bantuan ke Belanda. Di saat yang sama, Maipa Deapati yang menyadari suaminya akan kalah, dia minta Datu Museng untuk menusuk lehernya. Dibandingkan jika dirinya diambil Belanda.
Dengan berat hati Datu Museng menusuk leher Maipa Deapati. Mereka hanya menikmati tiga bulan atau tiga bulan purnama yang cukup indah di ujung pandang.
"Mereka saling berjanji, Datu Museng bilang tunggu saya di waktu dhuhur, kalau saya tidak ada, tunggu waktu ashar, kalau tidak, tunggu saya diwaktu magrib, kita nanti ketemu. Dia menutup luka pada leher Maipa Deapati dengan selendang merah, tidak ada darah keluar, dia didudukkan di paladang (teras rumah kayu)," Safri hampir pada akhir ceritanya.
Keris yang dia pakai, Datu Museng lemparkan ke Sumbawa dengan bendera dan selembar surat bertuliskan "Maipa telah tiada".
Di Sumbawa, sementara duduk di depan serambi, Raja mendapatkan firasat. Jatuh kaca di serambi. Dia merasa ada sesuatu hal yang terjadi. Dan benar saja, putrinya meninggal di Ujung Pandang.
Mama susu Maipa Deapati, satu-satunya yang hidup dari 40 orang setelah peristiwa itu. Dia kembali ke Sumbawa dan membawa kabar itu.
Tersisa Datu Museng sendiri menghadapai Belanda. Dia membuat parit yang luas dan dalam di sekitar rumahnya, jadi ketika Belanda datang mereka terjatuh ke dalam parit.
Masuk waktu dhuhur, Datu Museng menyempatkan salat. Setelah itu mereka lanjut berkelahi. Setelah masuk waktu ashar, dia salat lagi dan lanjut berkelahi lagi.
Diperkirakan hampir seribu orang Belanda mati di tangan Datu Museng. Hampir masuk waktu magrib, Datu Museng tidak sempat lagi salat. Karena pasukan Belanda semakin banyak.