"Jadi pada hakikatnya, pajak hiburan itu adalah 'pajak tontonan' dan obyeknya adalah hasil penjualan tiket masuk, minumum Charge (FDC), Food dan Baverage (F&B), Charge VIP. Box, Charge Sofa dan Table, Charge Room, Membership dan Service Charge. Sedangkan pajak restoran itu adalah pajak 'makanan dan minuman'. Itu perbedaan sederhananya," ungkapnya.
Untuk itu, Zul berharap agar pihak Bapenda bisa menata ulang dengan menetapkan kewajiban 'satu usaha wajib miliki dua jenis pajak yang berbeda obyek'. Artinya, tiap usaha hiburan baik usaha Diskotik, Kelab Malam dan Bar (Pub) hingga Karaoke wajib memiliki dua jenis pajak, yakni Pajak Hiburan (pajak tontonan) dan Pajak Restoran (pajak makanan dan minuman).
"Ini setidaknya bisa juga bisa menjadi solusi saat terjadi polemik seperti sekarang, ikhwal protes kenaikan pajak hiburan yang tinggi. Disamping itu, dengan pengenaan dua jenis pajak tersebut, Bapenda tentunya memiliki pontensi pajak baru dan bisa mencegah kebocoran pajak hiburan, disamping bisa lebih efektif mendongkrak pemasukan pajak restoran pada usaha-usaha hiburan," paparnya.
Sebaliknya, lanjut Zul, bagi para pengusaha, tentunya mereka juga bisa lebih ringan menerapkan kewajibannya terhadap para konsumen selaku subyek pajak karena aturannya sudah cukup jelas.
"Termasuk bagi usaha karaoke, yang selama ini dikenakan pajak hiburan 25 pesen (tarif pajak lama) itu hanya pemakaian room karaokenya. Sedangkan untuk pajak restorannya hanya senilai 10 persen. Jangan lagi digabung langsung seperti selama ini, kasihan pengusahanya, jelas dirugikan karena makanan dan minumannya praktis dikenakan pajak 25 persen dari total penjualan akhir," tegas Zul.