Nasib Pendidikan Anak di Pesisir Makassar; Menanggung Derita Penambangan Pasir dan Alpanya Pemerintah

  • Bagikan
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)

Penulis: Arya Nur Prianugraha

Jannah mengurung dirinya di kamar dua hari dua malam. Tidak makan, tidak mandi. Ia menangis. Setelah orang tuanya memintanya berhenti sekolah.

“Mengamuk Jannah. Saya bilang berhenti saja sekolah kalau harus bayar. Karena bapakmu belum ada penghasilan,” kenang Mumi, Ibu Jannah, saat bercerita kepada saya, 21 Desember 2023 di rumahnya.

Mumi, 39 tahun, ialah Warga Pulau Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. 

Pulau seluas 48 hektare itu berjarak 16 kilometer dari pusat Kota Makassar. Satu-satunya transportasi massal ke sana menggunakan kapal penumpang, dengan kapasitas tak lebih 50 orang. 

Kapal itu hanya melakukan satu kali pelayaran pergi pulang dalam sehari. Tarifnya Rp 15 ribu satu kali Perjalanan. Penumpang naik dari Dermaga Kayu Bangkoa. Letaknya di Jalan Penghibur, Kecamatan Ujung Pandang, Makassar, 500 meter dari destinasi wisata tersohor Anjungan Pantai Losari.

Sejam kemudian, tiba di sebuah dermaga, dengan lantai dan atap yang bocor. Itu satu-satunya dermaga di Pulau Kodingareng.

Pulau yang dihuni 4.560 jiwa itu dikelilingi pantai pasir putih. Masyarakat, yang mayoritas nelayan, memarkir perahunya di situ. Titik awal bertaruh nasib di laut untuk mencari penghidupan.

Begitu juga keluarga Mumi. Ibu Rumah Tangga anak tiga itu memenuhi kebutuhan rumah tangganya dari pendapatan suami sebagai nelayan.

Jannah, anak keduanya, kini duduk di Kelas 1 SMA Citra Bangsa. Sekolah Menengah Atas satu-satunya di Pulau Kodingareng. 

Sekolah itu terletak di ambang dermaga. Berhadapan dengan Masjid Al Akbar. Pagarnya setinggi satu setengah meter, berwarna hijau dan biru muda.

Gerbangnya hanya satu, dengan lebar tak sampai dua meter. Jika lima anak bergerombol berlari bersamaan saat pulang sekolah, hampir pasti ada di antara mereka yang menabrak pagar.

Secara keseluruhan, bentuk bangunannya sama dengan sekolah kebanyakan di Indonesia. Sebuah lapangan upacara di tengah, lalu dikelilingi ruang kelas dan ruang guru.

Sekolah swasta itu memungut iuran Rp 130 ribu per bulannya. Uang tersebut dikelola Yayasan Pengembangan Citra Anak Bangsa. Digunakan untuk operasional sekolah: membayar gaji guru, membeli alat tulis menulis, dan keperluan lainnya.

“Ada juga yang dibayar tiap mau ulangan,” kata Mumi. Jika tak bayar, maka siswa tidak bisa ikut ulangan. Bagi Mumi, uang segitu tidak sedikit. “Belum lagi uang jajan setiap hari”. Jumlahnya mulai Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu.

Itu alasan dirinya meminta Jannah berhenti sekolah pada pertengahan 2023. Ia tak sanggup lagi membiayai anaknya yang bercita-cita jadi guru. 

Iuran sekolah Jannah sempat menunggak dua bulan. “Hampir tidak diikutkan ujian. Jadi saya menghadap (pada pihak sekolah), supaya bisa ikut ujian. Saya bilang belum ada uang. Akhirnya diizinkan masuk”.

Penanggung Jawab iuran siswa SMA Citra Bangsa, Dullah, sempat tak percaya jika orang tua Jannah tidak punya uang Rp 260 ribu—untuk menebus tunggakan iuran sekolah dua bulan. Dullah, yang juga guru olahraga itu, mengenal bapak Jannah, Mahir, sebagai juragan. Punya perahu untuk tangkap ikan sendiri. 

Tapi bagi nelayan seperti Mahir, perahu dan pancing tak ada gunanya ketika tak ada ikan yang bisa dipancing. Hasil tangkapan sedikit dan tak jarang nihil. 

Warga Pulau Kodingareng, seperti Mahir yakin, kondisi itu terjadi karena wilayah tangkap nelayan Kodingareng, Coppong Lompo sudah rusak. Akibat aktivitas penambangan pasir laut 2020 silam.

Sebelum penambangan, Mahir bisa dapat Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta sehari. Pasca penambangan, pendapatannya menurun drastis. Ia hanya memeroleh Rp 200 ribu sehari. Belum lagi mesti berlayar lebih jauh karena wilayah tangkap rusak. 

“Ongkos satu kali jalan Rp 300 ribu. Pendapatan kadang Rp 200 ribu, sesekali Rp 500 ribu. Kadang tidak ada sama sekali,” jadinya lebih sering rugi, “belum lagi kalau mesin perahu rusak,” tutur Mahir, lirih. 

Keadaan itu membuat Mahir memarkir perahunya pada Mei 2023. Meninggalkan Pulau Kodingareng, lalu bekerja di PT Cargill, sebuah perusahaan penyedia pakan hewan. Letaknya di Jalan Kapasa Raya, Kecamatan Tamalanrea, Makassar.

Di perusahaan milik Keluarga Cargill-MacMillan—salah satu keluarga terkaya di dunia—itu, status kerja Mahir tidak jelas. Ia diupah per pekan. “Tergantung berapa karung pakan yang dimasukkan ke dalam karung”. Mulai Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu.

Upahnya itu digunakan untuk menyewa kamar indekos seharga Rp 300 ribu per bulan. Dikirim Rp50 ribu ke pulau tiap pekan, dan sisanya untuk biaya hidupnya di kota.

Enam bulan bekerja di sana. Mahir berhenti. Pendapatannya bekerja di perusahaan milik salah satu keluarga terkaya di dunia itu, dinilainya tidak sesuai dengan pengeluaran. Lebih besar pasak daripada tiang.

Ia kembali ke pulau pada November 2023. Kepulangan itu menjadi babak baru perjalanan hidupnya. Mahir mesti bekerja agar bisa menghidupi dirinya dan keluarganya. Namun jika memaksakan diri melaut menggunakan perahunya, ia hanya akan tekor.

Akhirnya, ia terpaksa menjual perahunya seharga Rp 23 juta. Perahu jenis jolloro—semacam perahu kelotok bermesin—, yang menghidupi istri dan tiga anaknya puluhan tahun itu kini telah pindah tangan. Sekarang, ia jadi nelayan tanpa perahu. Menjadi buruh di perahu kerabatnya.

Tiap hari, setelah salat Subuh, Mahir sudah bersiap-siap melaut. Berbekal makanan dari sang istri, sebungkus rokok, dan kopi hitam. Rata-rata ia bisa mendapat empat kilogram cumi-cumi. Satu kilogram cumi-cumi, dihargai Rp 50 ribu di tengkulak. 

“Kalau dapat Rp 200 ribu. Saya dibayar Rp 75 ribu,” ucapnya. Jika beruntung, ia bisa dapat upah sampai Rp 500 ribu. “Tapi tidak sering, syukur kalau ada sebulan sekali”.

Jika sial, malah bisa buntung. Tidak ada tangkapan, maka tidak ada upah. Tidak ada upah, maka tidak ada uang untuk keluarga di rumah. 

Sementara untuk menyambung hidup tiap harinya, Mahir bilang keluarganya butuh setidaknya Rp 80 ribu per hari. Jumlah itu hanya untuk memastikan dapur terus berasap. Belum untuk uang sekolah Jannah, untuk bayar listrik, dan kebutuhan lainnya.

Kondisi itu membuatnya kembali memutar otak. Mahir belakangan ini ikut perahu yang berlayar hingga ke Kabupaten Kepulauan Selayar. Sekali pelayaran bisa sepuluh sampai 15 hari. Diupah mulai dari Rp 650 ribu.

“Alhamdulillah tidak pernah utang. Tidak pernah juga jual perhiasan. Kalau yang lain (warga) itu ada,” kata mahir. 

Jerih payah berlayar hingga ke Selayar itu yang membuat Jannah masih sekolah hingga saat ini. Jannah, kini bisa terus lari mengejar cita-citanya menjadi guru.

Namun, anak-anak lain di Pulau Kodingareng tak seberuntung perempuan 16 tahun itu.

Teman-teman Jannah, ada yang iuran sekolahnya menunggak sembilan bulan dan mesti putus sekolah. Ada yang menggadaikan barang-barangnya demi tetap bersekolah. Ada pula orang tua yang sedari awal enggan memasukkan anaknya SMA karena tidak ingin rugi waktu jika putus di tengah jalan.

Anak usia sekolah yang tak sekolah di Pulau Kodingareng biasanya segera dinikahkan jika perempuan. Yang laki-laki pergi melaut atau merantau ke luar pulau.

Itu dialami anak-anak Suriani. Lima anaknya putus sekolah karena persoalan ekonomi. Anak pertamanya, Sumarni, 22 tahun, putus sekolah saat kelas 2 SMA, kini Sumarni telah menikah dan memiliki satu anak. Anak keduanya, Supardi, 20 tahun, bahkan tidak tamat SD, sejak kecil ikut dengan bapaknya melaut mencari ikan.

Lalu anak ketiganya, Andriani, 19 tahun, dan anak keempat, Andriati, juga 19 tahun, sekolahnya sama-sama kandas di kelas 4 SD. Andriani telah menikah, sementara Andriati, jika ada yang melamar, Suriani mengaku keluarganya akan senang hati menerima.

Terakhir, anak bungsu Suriani, Riswandi, pada akhir 2023 pun putus sekolah di kelas 4 SD. Anak laki-laki yang masih berumur 10 tahun itu saat ini ikut dengan bapaknya melaut. 

Bagi Suriani, mengetahui semua anaknya bisa membaca saja sudah syukur. Ia tidak mau ambil risiko lagi sejak anak pertamanya putus sekolah di SMA karena masalah ekonomi. 

“Mau ambil uang dari mana,” kata Suriani.

Sebagai satu-satunya Sekolah Menengah Atas, SMA Citra Bangsa harapan bagi pendidikan di Pulau Kodingareng. Agar anak-anak bisa menempuh pendidikan formal 12 tahun. Namun jika dilihat dari jumlah siswanya, datanya sungguh timpang dibanding SD dan SMP.

Per 2 Januari 2024, data Dinas Pendidikan (Disdik) Makassar menunjukkan SD Negeri Kodingareng memiliki 520 siswa, dan SMP Negeri 38 Kodingareng 159 siswa. Sementara SMA Citra Bangsa, menurut data Disdik Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), saat ini hanya memiliki 135 siswa.

Angka ini sangat sedikit. Mengingat SMA Citra Bangsa berdiri di dua pulau, Pulau Kodingareng dan Pulau Barrang Caddi. 

Jarak kedua pulau ini tidak jauh. “Berenang juga bisa,” begitu kelakar warga Barrang Caddi. Menggambarkan jarak tempuh 15 menit ke Kodingareng menggunakan perahu.

Letaknya berada di tengah-tengah, antara Pulau Kodingareng dan Pulau Barrang Lompo–Ibu Kota Kecamatan Kepulauan Sangkarrang. Jarak tempuhnya 45 menit dari Dermaga Kayu Bangkoa.

Di pulau yang dihuni 1.425 jiwa itu, hanya ada delapan siswa SMA Citra Bangsa. Kelas XI empat orang, kelas XII empat orang.

Sama dengan Pulau Kodingareng, di sana hanya ada satu SD dan SMP. Jumlah siswanya berkali-kali lipat dibanding SMA. Di SD Negeri Barrang Caddi ada 168 siswa, dan SMP Negeri 39 Barrang Caddi 49 siswa.

Namun SMA Citra Bangsa di Barrang Caddi tidaklah seperti di kepala kita saat mendengar kata “sekolah”. Tidak ada ruang kelas, tidak ada ruang guru, tidak ada pagar, tidak ada gerbang, tidak ada lapangan upacara, dan tidak ada tiang bendera. 

Sekolah itu hanya berupa kolong rumah milik warga. Fasilitas yang ada hanya tujuh meja panjang berbahan kayu, 14 kursi plastik warna hijau, plus satu bangku kayu untuk guru.

Sekolah itu terakhir digunakan pada Juli 2023. Dua tahun terakhir, tahun ajaran 2023/2024 dan 2024/2025, sekolah itu tidak lagi menerima siswa baru. Penyebabnya karena tidak ada lagi pengajar. 

Kini, delapan siswa yang tersisa, belajar Dalam Jaringan atau Daring. Mengikuti pembelajaran di SMA Citra Bangsa Pulau Kodingareng.  

“Walaupun lebih sering tidak belajar,” kata salah seorang siswa.

Jadinya, selama tahun ajaran 2023/2024 dan 2024/2025, sejumlah anak di Pulau Barrang Caddi yang ingin lanjut sekolah ke SMA mesti keluar pulau. Yang tidak punya biaya, harus rela putus sekolah.

Salah satunya Farhan, tahun ajaran 2023/2024 Ialu, ia mendaftarkan diri bersekolah di Sekolah Alam Insan Kamil. Letaknya di Kelurahan Tamarunang, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. 

Jarak Sekolah Alam Insan Kamil dari Pulau Barrang Caddi satu jam perjalanan laut. Kemudian 30 menit perjalanan darat. Jarak yang jauh itu mengharuskan Farhan tinggal di rumah tantenya, saudara dari ibunya, yang tidak jauh dari sekolahnya.

Satu bulan Farhan bersekolah dan tinggal di Gowa, ibunya, Halima, meminta Farhan berhenti bersekolah. “Bapaknya yang minta,” ujar Halima. Kini, anak 15 tahun itu berhenti sekolah.

“Saya mau sekolahkan ini anak (Farhan). Ini anak juga mau sekolah. Tapi bapaknya tidak sanggup. Bapaknya yang cari uang. Tidak tahu mau ambil uang dari mana,” kata Halima.

Bapak Farhan, Dundu, umur 30 tahun, pekerjaannya tidak menentu. “Karena tidak punya perahu.” Jadi kadang membantu tetangga sebagai pengrajin perahu, kadang juga ikut melaut. Sebagai buruh nelayan, pendapatannya tak banyak, berkisar Rp25 ribu sampai Rp30 ribu per hari.

Kerja serabutan itu tidak bisa membiayai pendidikan Farhan di perantauan. Kebutuhan Farhan untuk sekolah, mesti mengalah dengan kebutuhan dasar orang tua dan tiga saudaranya. 

Sentuh infografis untuk melihat data

Sentuh infografis untuk melihat data

Cerita Farhan, dan lima anak-anak Suriani, diperkuat data ATS, senafas dengan data rata-rata lama sekolah Sulsel pada 2023 yang hanya delapan tahun, atau setara kelas dua SMP—berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). 

Data-data itu menunjukkan anak usia sekolah di Sulsel kebanyakan hanya menempuh jenjang pendidikan SD. Sementara untuk jenjang selanjutnya banyak yang putus sekolah.

Datangnya Boskalis

“Saya waktu itu asal diajak demo pasti pergi”.

“Pernah diusir kapal polisi”.

“Pernah pulang tengah malam padahal ombak tinggi, pakai perahu kecil bawa dua anak kecil’.

“Waktu demo diancam-ancam sama polisi. Tapi alhamdulilah sampai sekarang masih hidup”.

Tangis Suriani pecah. “Kalau ingat masa itu, saya menangis,” tuturnya tersendak-sendak. Menyeka pipinya yang basah.

Ia mengingat masa saat-saat dirinya kerap ke pusat Kota Makassar berdemonstrasi. Mendatangi kantor pemerintahan bersama warga lainnya. Bersama mahasiswa, organisasi pegiat lingkungan, massa solidaritas, hingga anak-anak.

Bertahun-tahun berlalu, masa-masa itu tak lekang dari ingatan warga Pulau Kodingareng. Termasuk anak-anak, mereka bahkan mengingat yel-yelnya.

Boskalis palukka kassi pangalle doe”. 

“Boskalis palukka kassi pangalle doe”.

Diartikan dari bahasa Makassar ke Indonesia, artinya Boskalis pencuri pasir pengambil uang.

Boskalis, begitu mereka menyebut kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis itu. Kapal pengisap pasir asal Belanda itu mampu mengangkut 90.000 meter kubik pasir per hari.

Kapal tersebut menambang pasir untuk Proyek Makassar New Port atau MNP. Proyek Strategis Nasional atau PSN yang dimulai peletakan batu pertamanya oleh Presiden Joko Widodo pada 22 Mei 2015. 

Secara umum, proyek MNP dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama, terdiri dari I-A, I-B, I-C, dan I-D. 

Tahap I-A selesai dan mulai beroperasi pada November 2018. Sementara tahap I-B dan I-C mulai dikerjakan pada 13 Februari 2020. Pembangunan tahap ini yang mengeruk pasir laut di Perairan Spermonde. 

Tahap, I-B menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,66 triliun dan I-C sebesar Rp 2,69 triliun. Sementara I-D dengan total investasi sebesar Rp 6,14 triliun. Masing-masing direncanakan selesai pada akhir 2022.

Presiden Joko Widodo dijadwalkan meresmikan proyek ini pada Juli 2023. Tapi hingga saat ini, MNP belum diresmikan.

Regional Head 4 Pelindo Enriany Muis membantah adanya keterlambatan pembangunan proyek. Saat dikonfirmasi pada 20 Desember 2023, ia mengaku MNP telah selesai. Namun sementara direview Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan atau BPKP.

“Setelah itu mungkin baru diresmikan,” ungkapnya.

Kemudian pada 5 Januari 2023, keterangan resmi Pelindo menyatakan per September 2023 tidak ada lagi aktivitas pengerjaan di I-B dan I-C. 

“Alat-alat berat sudah mulai meninggalkan kawasan,” katanya.

Tidak disebutkan kapan MNP bakal diresmikan. Enriany hanya memastikan kapasitas MNP naik 150 persen jika I-B dan I-C beroperasi. Semulanya 1 juta TEUs (kontainer berukuran 20 kaki) menjadi 2,5 juta TEUs.

Dengan begitu, performa peti kemas diklaim akan optimal.

Namun bagi orang yang menggantungkan hidup dari hasil laut seperti Suriani, peresmian MNP tak penting. Yang ia tahu, pembangunan pelabuhan terbesar di Indonesia Timur itu telah merusak wilayah tangkap ikan warga pulau, Coppong Lompo.

“Dulu lumayan (sebelum tambang). Sekarang jauh bedanya (hasil tangkapan ikan). Cemen,” kata dia. “Dulu bisa Rp 300 ribu sehari. Sekarang biar Rp 10 ribu susah”.

Riset Koalisi Save Spermonde, terdiri dari WALHI Sulsel, Greenpeace Indonesia, dan berbagai organisasi lainnya menunjukkan betapa timpangnya jumlah tangkapan nelayan Kodingareng sebelum dan sesudah penambangan pasir laut. 

Sentuh infografis untuk melihat data

Sejak adanya aktivitas tambang pasir laut, semua jenis nelayan di Pulau Kodingareng mengalami kerugian. Bagi nelayan pancing, kerugiannya berkisar Rp 250 ribu per hari dan untuk nelayan panah berkisar Rp 200 ribu per hari. 

Sementara untuk nelayan jaring kerugian yang dialami mencapai Rp 1.4 juta per hari. Sedangkan untuk nelayan bagang kerugian yang dialami mencapai Rp 2 juta per hari.

Data tersebut merupakan riset pada 2020. Saat aktivitas tambang pasir laut berlangsung. Kepala Divisi Hukum dan Politik Hijau Walhi Sulsel, Afriandi Anas, menyebut kondisi saat ini lebih parah.

Itu didasarkan dari riset Identifikasi HAM dan Strategi Bertahan Hidup ‘Survival’ Perempuan Kodingareng-Galesong dalam Menghadapi Perubahan Iklim oleh Walhi Sulsel.

Selain warga di Kodingareng, sejumlah warga di gugusan Pulau Spermonde juga ikut terdampak kerusakan lingkungan pasca tambang. Seperti di Pulau Barrang Caddi, yang juga dominan menangkap ikan di Coppong Lompo.

Kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir laut, kata Afriandi, diperparah dengan kondisi perubahan iklim saat ini. Hasil laut sebagai penopang ekonomi warga pulau rusak. Perputaran ekonomi tersendak. “Banyak masyarakat yang memilih bermigrasi”.

Bagaimana Komitmen Pejabat Kita?

Hak anak mengenyam pendidikan, seperti yang termaktub dalam konvensi hak anak bagi anak-anak Kodingareng dan Barrang Caddi hanya sekadar konsep saja. Nasib mereka adalah potret nyata pendidikan tak aksesibilitas. Kolaborasi apik antara negara yang tidak hadir memberikan hak warganya, dan perusahaan yang merusak ruang hidup warga.

PT Pelindo Regional 4, sebagai perusahaan negara yang menjalankan proyek MNP merasa tak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang terjadi akibat reklamasi. 

“Karena kami fokus ke proyeknya,” kata Enriany Muis.

Petinggi perusahaan plat merah itu berdalih, pihaknya tidak tahu menahu soal penambangan pasir. Semua hal tentang penambangan, kata dia, merupakan tanggung jawab PT Royal Boskalis sebagai pihak ketiga.

Sementara Pemprov Sulsel, melalui Disdik mengakui kurangnya SMA negeri di Sulsel. Terutama yang berada di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3t. Termasuk di wilayah Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Makassar.

Di antara 12 pulau yang ada di kecamatan itu, hanya ada dua SMA, semuanya swasta. “Memang di Makassar ini kita membutuhkan pembangunan sekolah sebenarnya. Termasuk di pulau. Karena mereka swasta saja,” kata Iqbal Najamuddin, Kepala Disdik Sulsel.

Namun, pembangunan SMA, katanya tidak gampang. Meski mandatory Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 20 persen untuk pendidikan, tapi mesti bertarung dengan kebutuhan lainnya.

Di wilayah 3t, kata Iqbal, tantangannya lebih sulit. ”Lebih banyak biaya distribusi angkut barang daripada bangun sekolahnya.” Biayanya tidak sedikit.

Mantan Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, yang kembali masuk bursa Bakal Calon Gubernur (Bacagub) bilang, di Kodingareng dan Barrang Caddi, hitungannya sudah ada sekolah. Karena di sana sudah ada SMA swasta. Sehingga saat ia menjabat, Sudirman mengaku mendahulukan daerah yang belum ada.

Ia menyebut Kabupaten Toraja dan Pangkajene Kepulauan. Meski tidak merinci SMA apa dan dimana tepatnya.

Kalaupun SMA negeri dibangun di Barrang Caddi dan Kodingareng, Sudirman mengatakan bakal menimbulkan persoalan baru. “Kapan masuk negeri, mati swasta. Itu juga pertimbangan kita pemerintah,” kata Sudirman di kediamannya di Jalan Traktor, Kecamatan Tamalate, Makassar, 25 Januari 2024.

Di masa Sudirman menjabat Wakil Gubernur dari Nurdin Abdullah—sebelum Nurdin tersandung kasus korupsi dan Sudirman diangkat gubernur—, sempat diadakan sebuah asrama di Kota Makassar. Asrama itu diperuntukkan bagi anak pulau. 

Program itu pada dasarnya bukan hanya untuk di Makassar, tapi seluruh anak pulau di Sulsel yang bakal mengenyam pendidikan di kota. Tujuannya, agar anak dari pulau bisa bersekolah di kota, tanpa mengeluarkan biaya tempat tinggal. 

“Sudah (pernah) ada,” ujar Sudirman. Namun program itu tidak bertahan. “Karena mereka (anak usia sekolah)  juga mau tetap di pulau”.

Selain itu, berdasar pemantauan media sosial yang berhubungan dengan pendidikan anak tidak sekolah menunjukkan, pada Juli 2022, Sudirman meluncurkan program Penanganan Anak Tidak Sekolah Berbasis Kolaborasi atau Pasti Beraksi. Informasi peluncuran itu diunggah di Instagram @diskominfo.sulsel pada 27 Juli 2022.

Program tersebut mendata anak tidak sekolah, lalu mengupayakan anak tersebut kembali sekolah. Sayangnya, hanya beberapa daerah yang menerapkan program ini. Seperti Takalar dan Enrekang. Sementara di Makassar, terkhusus di pulau. Program tersebut tidak jalan.

Sudirman menyadari, tidak adanya SMA negeri di pulau seperti Kodingareng dan Barrang Caddi membuat angka putus sekolah meningkat. Ia pun mengaku tahu, sejak adanya tambang pasir laut yang merusak wilayah tangkap nelayan dan diperparah krisis iklim, pendapatan warga pulau menyusut.

“Nanti kita coba (sekolah) swasta itu kita negeri-kan,” kata Sudirman, saat ditanya komitmennya terhadap pendidikan di pulau jika terpilih kembali jadi gubernur. Ia juga bilang bakal melanjutkan Pasti Beraksi yang disebutnya berhasil.

Di sisi lain, Wali Kota Makassar Danny Pomanto, yang juga masuk bursa Bacagub Sulsel, mengeklaim selama ini punya perhatian serius terhadap persoalan pendidikan. Hanya saja, Politisi PDIP itu bilang SMA bukan kewenangannya. 

“SMA kan wewenang Pemerintah Provinsi,” kata Danny, pada 17 Januari 2024 di Tribun Karebosi, Jalan Ahmad Yani, Makassar.

Wali Kota Makassar dua periode itu berkelit, akan beda cerita jika dia duduk sebagai Gubernur Sulsel.

Pada periode kedua duduk sebagai Orang Nomor Satu di Makassar, Danny memperkenalkan program 18 Revolusi Pendidikan Semua Harus Sekolah. Menekankan semua anak di Makassar harus sekolah hingga tamat SMA.

“Kalau ada yang tidak mampu sekolah, bukan tanggung jawab keluarga, tapi pemerintah,” ujar Danny saat kampanye Pemilihan Wali Kota 2020. Ditayangkan YouTube Metro TV pada 3 Oktober 2020.

Program itu terus didengungkan Danny selama ia menjabat. Jika menang di Pemilihan Gubernur Sulsel, ia dengan mantap menjawab bakal membawa program yang sama di Pemprov Sulsel. Dengan begitu, kata dia, kewenangannya tidak lagi terbatas hanya sampai SMP saja.

“Jadi 18 revolusi pendidikan itu harus jadi bagian secara keseluruhan. Mulai dari Paud sampai SMA,” ucapnya.

Grafik Dua Bacagub soal Pendidikan Anak di Pulau 

Program yang digodok Danny dan Sudirman dinilai tidak efektif. Sejumlah narasumber yang saya ditemui di Pulau Kodingareng dan Pulau Barrang Caddi, bahkan tidak mengetahui program tersebut.

Program Revolusi Pendidikan ala Danny, revolusinya tidak dirasakan warga pulau. Begitu pula Pasti Beraksi yang dicetuskan Sudirman.

“Jangankan tahu ada program itu, mereka bahkan tidak tahu anak nelayan itu punya hak yang sama mengakses pendidikan. Tidak tahu sama sekali,” terang Mira.

Ia heran. Pemerintah, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, hingga kota kerap mengampanyekan 12 tahun wajib sekolah. Tapi tidak menyiapkan fasilitas untuk sekolah.

Menyongsong Pemilihan Umum, termasuk Pemilihan Gubernur, sebagai aktivis yang kerap mengadvokasi persoalan di pulau, Mira melihat dua sosok itu, Danny dan Sudirman sama saja. 

Kiprah keduanya, selama menjadi pejabat publik untuk masyarakat pesisir dinilainya tidak nampak. Yang ada hanya spanduk yang seliweran di pulau yang sempit.

“Belum ada secara spesifik yang membahas problem wilayah pesisir. Khususnya yang berada di Kecamatan Sangkarrang. Jadi jangankan pendidikan. Bicara hak dasar warga pulau saja itu tidak ada. Apalagi soal pendidikan warga pesisir,” ketusnya.

*Liputan ini Mendapatkan Dukungan Hibah dari Program Fellowship Aliansi Jurnalis Independen Indonesia

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan