Makassar di Mata Alfred Wallace: Sepotong Eropa di Timur Nusantara

  • Bagikan
Kampung Baru Makassar pada Tahun 1910. (Foto repro dari KITLV)

Akan tetapi, meskipun kondisinya tampak menyedihkan, rumah-rumah penduduk lokal dibuat agar tetap memiliki penampilan yang rapi. Hal itu karena semuanya dibangun tepat pada garis lurus jalan. Umumnya, pohon-pohon buah yang rindang menaungi setiap pinggir.

Penduduk laki-laki Bugis dan Makasar kerap berkumpul di sepanjang ruas jalan ini. Mereka biasanya mengenakan celana panjang berbahan katun. Panjangnya sekitar dua belas inci.

Celana itu hanya menutupi dari pinggul hingga separuh paha. Para pria Makassar dan Bugis itu juga umumnya mengenakan sarung Melayu dengan motif kotak-kotak.

Mereka mengenakan sarung dengan melilitkan di pinggang. Ada juga yang sekadar menyelempangkannya di bahu.

Sejajar dengan jalan di sepanjang pantai, ada dua jalan pendek yang membentuk kota tua Belanda, dan dikelilingi oleh gerbang. Kawasan ini terdiri dari rumah-rumah pribadi.

Di ujung selatannya terdapat benteng, gereja, dan jalan tegak lurus ke pantai, yang berisi rumah Gubernur dan pejabat utama.

Di sekitar benteng atau Fort Rotterdam yang berada di tepi pantai, terdapat jalan panjang lainnya. Ruas jalan itu dipenuhi gubuk-gubuk penduduk asli dan banyak rumah pedesaan para pedagang dan saudagar.

Sawah datar yang gundul dan kering di musim kemarau, terbentang di sekeliling kawasan rumah pedesaan di sekitar benteng. Sawah itu ditutupi tunggul berdebu dan rumput liar.

Kondisi ini sangat berbeda saat musim hujan yang memberikan pemandangan tanaman yang hijau melimpah.

Wallace membandingkan kondisi Makassar dengan Lombok dan Bali yang telah dikunjunginya. Penampakan persawahan di Makassar yang tandus pada musim kemarau sangat kontras dengan tanaman tahunan di Lombock dan Bali.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan