“Karena gajinya itu lumayan sekali kalau dikonversi ke mata uang Indonesia, jadi kalau misalnya kita punya kesempatan lembur, kita akan lembur. Di hari Sabtu bahkan ada beberapa dari kami yang mengajukan bekerja,” sambungnya.
Meski begitu, FM sadar tiap peserta bisa saja punya pengalaman berbeda. Apalagi melihat keluhan sejumlah peserta yang kini seliweran di media.
Soal tanda tangan kontrak misalnya, ada yang mengeluhkan menanda tangani kontrak di atas mobil yang gelap. Dengan draft berbahasa Jerman pula. Sehingga tidak paham dengan isinya.
Ada pula yang mengeluh karena pagi buta mesti berjalan untuk berangkat kerja, di tengah udara dingin Jerman yang sangat berbeda di Indonesia.
“Saya tidak berani menggeneralisasi,” katanya. “Tapi itu saya tidak mengalami seperti yang mereka kisahkan”.
Ia menuturkan, saat baru mulai bekerja, memang lumayan berat. Apalagi budaya kerja di Indonesia dan Jerman yang berbeda.
“Jadi memang teman-teman dari Indonesia beberapa yang mengalami culture shock, termasuk saya,” akunya.
FM menguraikannya menjadi tiga. Pertama, orang Eropa, khususnya orang Jerman partikular, sangat ketat dengan waktu.
“Jadi kalau mereka bilang kota kerja di jam 7 pas, itu di jam 7 pas kita harus benar-benar ada di situ bekerja. Kalau tidak kita akan dapat teguran dari mereka,” urainya.
Kedua, orang Eropa disebutnya punya karakter yang direct. Tidak basa-basi. Menurutnya, itu yang membuat orang Asia, terutama orang Indonesia kaget.
“Berpikir “Aduh kok lingkungan kerjanya begini yah. Kok bisa mereka dengan enteng mengucapkan hal yang bikin sakit hati”. Padahal itu memang budaya mereka,” ujarnya.