Cerita Mahasiswa UIN Alauddin yang Ikut Program Magang ke Jerman: Saya Tidak Merasa Korban TPPO

  • Bagikan
Rektorat UIN Alauddin Makassar

Ketiga, yakni persoalan fisik. Sebagai pekerja tanpa skil, pekerjaan peseeta program tersebut mengandalkan fisik.

“Jadi kalau orang Eropa mengangkat beban 5 kilogram atau 10 kilogram satu jari atau satu tangan, kita orang Indonesia akan menganggap itu berat. Sedangkan orang Eropa menganggap hal itu ringan,” ucapnya.

Uniknya, itu dilakukan tanpa perbedaan gender. Perempuan dan laki-laki diberi pekerjaan yang sama. Sementara di Indonesia, dinilainya tidak begitu. Kecenderungannya selalu memberikan pengerjaan keras pada laki-laki, sedangkan perempuan pekerjaannya lebih mudah lagi.

“Kalau di Jerman itu tidak bisa. Jadi banyak teman-teman cewek mengeluh soal itu,” imbuhnya.

Walau demikian, ia menyadari program ferienjob ini bukan tanpa celah. Ada keganjalan yang FM temukan dari kontrak kerja peserta fereinjob asal Indonesia dengan negara lainnya.

Di kontrak, para peserta asal Indonesia wajib membayar 20 Euro pada agensi setiap hari. Padahal, peserta negara lain lebih murah.

“Ada pelajar dari Georgia itu cuma bayar sekitar 12 atau 16 Euro,” ucapnya. Begitu pula dengan negara lainnya. Ia tidak ingat persisnya. “Tapi yang jelas mereka bilang jumlah yang mereka bayar lebih sedikit dari jumlah orang Indonesia bayarkan”.

“Walaupun di kontrak kerja sudah ada bahwa kita harus bayar 20 Euro itu. Tapi itu yang saya sayangkan,” tambahnya.

Tidak hanya itu, seorang sumber yang ditemui fajar.co.id, yang mengetahui program ini juga mengakui memang ada sejumlah peserta yang merasa ditelantarkan. Contohnya, saat baru pertama kali tiba di Jerman, tidak ada yang menjemput, mereka hanya diberi instruksi melalui telepon.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan