Catatan: Iqbal Mochtar
DOKTER Indonesia memang hebat. Tidak kalah dengan dokter asing. Kemarin, dunia kedokteran Indonesia mencatat sejarah : berhasil melakukan operasi telerobotik pertama dengan memanfaatkan teknologi robotik dan jaringan nirkabel.
Dokter di RS Ngoerah Rai, Bali melakukan operasi kista ginjal pada pasien yang berada di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Bayangkan, jarak antara kedua tempat tersebut berkisar 1.200 kilometer. Dengan jarak sejauh itu, operasi jarak jauh bisa dilakukan dengan sukses. Bukankah hal ini hebat? Lantas kepada siapa kredit ini harus disematkan?
Pertama, tentu kepada dokter Indonesia yang melakukan operasi jarak jauh ini. Mereka adalah Prof. Ponco Birowo, Prof. dr. Agus Rizal Ardy, Prof. dr.Chaidir A. Mochtar, Prof. Gede Wirya Kusuma Duarsa, dr. I Wayan Yudiana dan dr. Fakhri Rahman. Juga dokter anestesi dr. Raihanita Zahra dan dr. R Besthadi Sukmono. Plus dokter-dokter lain yang stand-by di RS Ngoerah Rai dan RS Cipto. Mereka adalah dokter luar biasa dan hebat. Tidak kalah dengan dokter luar negeri yang sering diagung-agungkan. Keahlian seperti ini tidak diperoleh ujug-ujug, tapi melalui proses pendidikan yang panjang dan profesional.
Selama operasi, kedua tangan Prof Ponco mengendalikan konsol yang terhubung dengan lengan robot di RSCM. Kemudian satu kaki Prof Ponco mengendalikan alat operasi, sementara satu kaki lainnya mengendalikan gripper yang digerakkan. Operasi ini tidak mungkin berhasil kalau tidak dilakukan oleh orang-orang hebat, yaitu dokter-dokter Indonesia. Bila ada gangguan sedikit saja pada kaki dan tangan tim dokter, bisa dibayangkan apa yang terajdi pada pasien di RS Cipto.
Kedua, kredit dan appresiasi juga perlu diberikan kepada provider Telkomsel yang memasang jaringan hyper-5G pada kedua rumah sakit. Latensi jaringan yang digunakan sangat handal, yaitu kurang dari 150 millisecond (msec). Dengan kecepatan internet di atas 50 mbps serta jitter (waktu tunda antara saat sinyal dikirim dan diterima melalui jaringan) di bawah 10 mS, operasi bisa dilakukan. Ini luar biasa. Latensi yang rendah bertujuan memastikan setiap gerakan yang dilakukan dokter di Bali dapat diterjemahkan dengan akurat oleh robot di Jakarta. Kalau ada gangguan jaringan saat operasi, tentu hal-hal tidak diharapkan bisa terjadi.
Saat operasi, latensi diertahankan pada operasi berjalan antara 15-20 mS dengan jarak 1.200 kilometer. Saat operasi, sempat latensi naik ke 18 mS, lalu ke 20 mS, terus turun lagi 15 mS hingga semua berjalan lancar. Kalau ada gangguan teknis sedikit saja terkait jaringan, maka operasi jarak jauh ini ambyar.
Ketiga, kredit mesti diberikan kepada RS Ngoerah Rai Bali dan RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Ini dua rumah sakit besar dan hebat yang menjadi kebanggaan negeri. Untuk melakukan operasi jarak jauh demikian, tentu pimpinan rumah sakit dan staff nya melakukan persiapan optimal.
Direktur Utama RSCM dr. Supriyanto Sp. B dan Direktur Utama RS Ngoerah Rai Bali, dr. I Wayan Sudana, M.Kes berperan besar dalam hal ini. Mulai dari persiapan tim, logistik, alat hingga ke mitigasi altenatif bila sekiranya ada kendala. Mereka tentu menyiapkan tim dokter, tim perawat dan tim anestesi yang harus memback up program ini. Apalagi ini menjadi momen penting dan tonggak sejarah kedokteran di Indonesia. Salut kepada pimpinan kedua rumah sakit ini.
Itulah tiga pihak yang layak mendapat kredit untuk kesuksesan operasi telerobotik jarak jauh ini.
Lantas bagaimana dengan Menkes? Apakah layak juga dapat kredit?
Menkes bisa dapat kredit, bisa juga tidak. Tergantung apa kontribusinya dalam operasi jarak jauh ini. Apakah ia ikut operasi? Apakah ia ikut mengatur teknologi nirkabel yang digunakan? Apakah ia mengatur teknis operasi ini? Tentu tidak. Kalaupun ia dapat layak kredit, ya tentu terkait karena posisinya sebagai Menkes. Bisa dapat kredit karena kebetulan ia Menteri yang urus kesehatan. Itupun bisa disematkan kalau Menkes bersifat konsisten.
Apa maksudnya konsisten? Biasanya, pimpinan adalah penanggung jawab penuh terhadap apa yang terjadi dibawah. Jadi kalau ada kegiatan rumah sakit yang sukses, ia dapat kredit. Demikian pula, kalau ada hal di rumah sakit yang tidak sukses, iapun harus bertanggung jawab. Harus konsisten.
Jangan saat operasi telerobotik berhasil, ia mengklaim kesuksesan. Namun, saat ada dugaan bullying pada rumah sakit vertikal, yang disalahkan adalah PPDS dan justru Dekan FK-nya dinon-aktifkan. Itu namanya tidak konsisten. Inkonsistensi bukan ciri pemimpin yang baik. (*)