Namun begitu, lanjut guru besar bidang ilmu hukum pidana ini, jika mengutamakan kemanfaatan dan keadilannya, maka lebih baik pelaku dihentikan perkaranya.
"Sebab mengapa? pelaku dianggap sudah kehilangan anak dan istrinya, sudah berduka, bahkan mungkin sekarang mengalami kecemasan, depresi, malah mau ditambah lagi bebannya dengan menjalani pemidanaan," bebernya.
"Soal tujuan hukum dalam sisi keadilan inilah yang sebenarnya menyebabkan muncul penyelesaian perkara dengan mekanisme keadilan restoratif, karena jauh lebih mengutamakan keadilan daripada kepastian hukumnya. Keadilan bukan hanya untuk si korban tetapi secara timbal balik juga untuk pelaku," tambah dia.
Untuk itu, bagi Prof Amir Ilyas, pencabutan penetapan tersangka terhadap Qadri sebenarnya sudah tepat kalau dengan berdasarkan Perpol Nomor 8/2021 sebagaimana diatur dalam Pasal 10 yang pada pokoknya mengatur syarat khusus untuk tindak pidana kecelakaan lalu lintas karena kelalaian yang mengakibatkan korban manusia, dapat diselesaikan dengan melalui mekanisme keadilan restoratif.
Dimana keluarga korban memaafkan, menjadi alasan dapat dihentikannya perkara dengan melalui penerbitan SP3.
"Dan pun kalau kasus yang begini masuk di pengadilan, saya berkeyakinan, mungkin saja kasusnya akan terbukti Pasal 359 KUHP atau Pasal 310 ayat 4 UU LLAJ, tapi majelis hakimnya kemungkinan besarnya akan menjatuhkan pidana penjara bersyarat (percobaan). Si pelaku divonis penjara misalnya 1 tahun, namun tidak perlu ia jalani di Lapas," tandasnya.