Oleh: Lintang Ayu Taufiqoh (Kabid Hubungan Antar Lembaga Pemuda Peduli Pendidikan dan Demokrasi (Palpasi))
OPINI -- Abuse of Power Syndrome telah menjadi fenomena yang semakin mencemaskan di Indonesia, terutama di kalangan mereka yang baru merasakan kekuasaan. Sindrom ini melibatkan perilaku penyalahgunaan kekuasaan oleh seseorang yang merasa bahwa otoritas yang dimilikinya dapat menjadi tameng untuk melindungi segala tindakannya, bahkan yang melanggar hukum. Ini menciptakan situasi di mana kekuasaan menjadi instrumen untuk mengintimidasi dan memaksakan kehendak, sering kali mengorbankan pihak yang lebih lemah.
Kasus terbaru yang melibatkan seorang guru honorer di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menggambarkan fenomena ini dengan sangat jelas. Guru yang berstatus honorer tersebut ditahan karena laporan yang dibuat oleh wali murid, yang seorang anggota polisi, setelah guru tersebut menegur anaknya yang berperilaku kurang baik di sekolah. Alih-alih mendapatkan dukungan moral dan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas mendidiknya, guru tersebut justru menjadi korban intimidasi kekuasaan.
Kejadian ini bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Beberapa tahun terakhir, berbagai peristiwa serupa telah menunjukkan betapa rentannya posisi guru dalam menghadapi kekuasaan. Pada tahun 2016, misalnya, terjadi kasus serupa di Sidoarjo, di mana seorang guru SD dilaporkan oleh orang tua murid karena menegur anaknya yang tidak disiplin. Akibatnya, guru tersebut dipecat dan harus menghadapi proses hukum yang memakan waktu lama. Pada tahun 2018, seorang guru di Lombok juga mengalami hal serupa, ketika ia dilaporkan dan ditahan setelah menegur murid yang tidak mengerjakan tugas. Kekuasaan yang dimiliki oleh keluarga murid tersebut membuat kasus ini semakin pelik, karena mereka merasa dapat menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan pihak guru.
Kasus-kasus semacam ini menunjukkan adanya pola kekuasaan yang tidak seimbang antara pihak yang memiliki otoritas, baik secara politik maupun hukum, dengan mereka yang tidak memiliki akses ke sumber daya dan kekuatan yang sama. Abuse of Power Syndrome, dalam hal ini, menjadi alat penindasan yang membahayakan nilai-nilai keadilan, dan berdampak serius pada dunia pendidikan di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, apakah fenomena seperti ini akan terus dibiarkan terjadi? Pendidikan adalah salah satu pilar utama pembangunan bangsa, dan guru adalah aktor kunci yang seharusnya dilindungi dalam menjalankan tugasnya. Sayangnya, ketika kekuasaan digunakan untuk mengintimidasi dan melindungi kepentingan pribadi, pendidikan pun terancam. Kasus guru honorer di Konawe Selatan harus menjadi cermin bagi kita semua untuk lebih waspada terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang semakin merajalela. Reformasi terhadap sistem hukum dan etika profesi sangat diperlukan, terutama dalam konteks perlindungan terhadap tenaga pendidik, agar kekuasaan tidak lagi menjadi alat untuk menekan yang lemah, tetapi digunakan untuk menegakkan keadilan yang sesungguhnya.
Fenomena ini harus segera mendapatkan perhatian lebih, bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai moral dan pendidikan, kita harus melindungi para pendidik dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami batasan kekuasaan mereka. Pemerintah harus memperkuat regulasi perlindungan bagi guru dan tenaga pendidik, terutama di daerah-daerah yang cenderung rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Perlindungan hukum terhadap tenaga pendidik dan lingkungan sekolah harus diperkuat agar kasus-kasus serupa tidak terus berulang. Pemerintah dan masyarakat harus bersikap lebih tegas dalam menghadapi Abuse of Power Syndrome yang merusak tatanan sosial, dan memberikan ruang yang aman bagi guru untuk mendidik tanpa takut akan intimidasi atau ancaman dari pihak yang lebih berkuasa.