‘’Reaksi fenomena itu kemudian saya lihat persepsi publik Jakarta terhadap Ridwan Kamil menjadi terasa ‘dingin’. Dia terkesan tidak mandiri atau melawan kultur egalitarianisme masyarakat Jakarta. Justru sebaliknya, pihak yang kritis dan mandiri terhadap kekuasaan seperti kelompok ‘Anak Abah’ malah naik. Lihat saja pada ikon pahlawan Betawi seperti Pitung atau Entong Gendut. Mereka mendapat legitimasi menjadi pemimpin karena melawan penguasa birokrat, bukan raja’’ ujarnya.
Menurut Teguh, pemahaman akan persepsi dan kultur kekuasaan di masyarakat Betawi atau Jakarta sangat penting untuk memahami pertarungan politik dan simpul kekuatan massa, khususnya di ajang Pemilu semenjak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi.
’’Almarhum Ridwan Saidi sempat bercerita bagaimana Partai Masyumi memahami secara baik kultur dan simpul masyarakat Jakarta terkait pilihan politik. Pada Pemilu 1955 partai itu tidak membawa ekpresi kekuasaan feodal ala kekuasaan Jawa di sini. Namun mereka bawa budaya egaliter Melayu yang itu juga menjadi rumpun budaya masyarakat asli Jakarta,” bebernya.
Soal pemahaman akan kultur kekuasaan Jakarta misalnya, lanjut Teguh, terlihat pada bentuk kampanye tiga partai utama di Jakarta pada Pemilu 1955, yakni Masyumi, PNI, dan PKI. Masyumi menyajikan pertunjukan kampanye dengan musik bergenre lagu Melayu. Tampilan ini mengesankan semangat kosmopolitan khas wilayah pantai dan kota perdagangan.
‘’PNI pada kampanye Pemilu 1955 memilih menyajikan pertunjukan musik yang kala itu terkesan ‘lebih nasionalis namun kental bernuansa priyayi Jawa’, yakni musik kroncong. Sedangkan PKI memakai idiom agitasi perlawan ala proletariat dengan mengerahkan kaum urban miskin dari Jawa untuk memperbanyak dukungan massa. Ini diwujudkan dengan usaha kerasnya memperjungkan pengakuan hak pilih bagi warga pendatang yang hidup menggelandang dengan tinggal di rumah keong (rumah tenda dari plastik) di seputaran ibu kota,’’ katanya.