Yang paling terasa dan langsung dialaminya, ungkap Teguh, adalah Pemilu di masa kejayaan Orde Baru. Kala itu rakyat Jakarta melawan dengan keras usaha hegemoni kekuasaan Suharto melalui Golkar. Partai ini baru berhasil memenangkan Pemilu di Jakarta setelah melakukan represi yang sangat luar biasa, yakni pasca Pemilu 1982.
‘’Yang saya ingat pada Pemilu 1971 dan 1977 partai penguasa, yakni Golkar, kalah telak di Jakarta. Mereka mulai menang sejak Pemilu 1982. Caranya dengan lakukan intimidasi kepada ulama dan jawara. Saya yang saat itu duduk dibangku kelas SMA kelas 3 dan sudah berhak memilih, diancam bisa tak lulus sekolah bila tak mencoblos Golkar. Pada hari pencoblosan kami digiring ke TPS yang didirikan di dekat sekolah,’’ kisah Teguh kembali.
Bahkan sebelum pencoblosan, Teguh menyatakan bila dia bersama teman-temannya ikut dikerahkan berkampanye. ’’Saya masih ingat pada pagi hari dari sekolah kami disewakan bus PPD pergi ke kampanye Golkar di Lapangan Banteng yang berakhir rusuh itu. Tiba-tiba panggung kampanye ambruk disusul dengan munculnya kepulan asap karena terjadi kebakaran. Orang-orang berlarian. Penyanyi dangdut Camelia Malik yang tengah menyanyi, tergopoh turun panggung dengan muka pucat sembari dikawal ketat oleh sejumlah lelaki berperawakan kekar.”
‘’Jadi di Lapangan Banteng itu saya lihat langsung contoh represi kekuasaan politik di Orde Baru pada rakyat di Jakarta demi memenangkan Pemilu. Saya lihat sendiri ada orang ditembak di dekat Pasar Senen usai rusuh kampanye. Jelas itu intimidasi politik. Tujuan agar warga Jakarta tak kritis dan menuruti instruksi agar mencoblos Golkar,’’ tegas Teguh.