Dalam potret lain, Pilkada serentak 2024 memakan biaya teramat besar. Lewat Kementerian Keuangan anggaran negara yang digelontorkan sebesar 37,4 triliun rupiah, belum termasuk atas nama program menyukseskan Pilkada serentak masing-masing anggaran dari tiap kementerian dan lembaga lainnya, termasuk anggaran pengamanan pihak kepolisian dan institusi lainnya. Belum lagi tiap-tiap pemerintahan di propinsi dan tiap kota serta kabupaten, mencapai ratusan triliun. Selain itu, menjadi jejak buruk dalam sejarah Indonesia perputaran dana dari sejak munculnya bakal calon, mengerucut menjadi calon, hingga calon tetap. Tingginya mahar politik parpol pengusung untuk dapat tiket pencalonan juga jadi biang keladi politik transaksional. Terparah tentu saja money politic. Tak ada yang dapat memungkiri, ada saja penamaan dari para calon agar berkesan sekedar bantuan. Tapi paket-paket dalam bentuk bahan pokok, barang, cinderamata, hingga dana segar dalam amplop dan transferan, berseliweran siang malam sejak pra kampanye, masa kampanye, sepekan jelang pemilihan, bahkan di masa tenang. Banyak sekali dana terbuang dalam proses panjang Pilkada, setiap Paslon harus mengeluarkan uang yang begitu besar, di sisi lain masayarakat melakukan peran signifikan sebagai akibat dari sebab Paslon dan timnya dalam menawarkan pragmatisme.
Kita semua melakukan kesalahan, ikut serta memberikan kontribusi lahirnya kerusakan negara (pemimpin dan rakyat) atas sistem pemilu yg panjang, ribet, dan pragmatis. Presiden, menteri dan seluruh perangkat sistem negara dari pusat telah mengabaikan sistem yang rusak parah ini. Banyak orang yang terpaksa korupsi hanya demi memenuhi tuntutan keadaan, KPK hanya bisa menangkap koruptor, masih lemah dalam pencegahan. Begitu banyaknya guru besar, doktor, jenderal TNI dan jenderal Polisi baik yang aktif ataupun purnawirawan, semuanya hanya bisa menyaksikan. Ironis sekali, Pilkada diisi calon dari eks buronan kasus korupsi, eks narapidana, pelaku pelecehan seksual, hingga dinasti politik turun temurun.