Krisis China: Ujian Xi Jinping dan Dampaknya Bagi Indonesia

  • Bagikan
Bernard Haloho (Aktivis 98 dan Direktur Eksekutif Indonesia Democracy Bridge Research Institut (Ind-Bri))

Namun, faktanya hampir bersamaan dengan perang dagang muncul masalah besar di berbagai sektor.

Gagal bayar utang jatuh tempo perusahaan-perusahaan besar properti, seperti Evergrande yang mengajukan perlindungan kebangkrutan di pengadilan AS pada Agustus 2023 dengan utang sebesar US$340 miliar setara Rp 5.440 triliun. Begitupun dengan  Country Garden dan Fantasia Holdings dan pengembang lainnya.

Padahal sektor properti menjadi kontributor perekonomian domestik sekitar 25 persen dari PDB.

Krisis properti tentunya ikut merembet ke sektor perbankan. Banyak bank di China memiliki exposure besar dengan banyak pengembang dengan memberikan pinjaman langsung yang dikhawatirkan bila terjadi default dapat mengganggu stabilitas sistem perbankan.

Gagal bayar tersebut dapat menciptakan tekanan di pasar obligasi domestik yang pada akhirnya juga mempengaruhi portofolio institusi keuangan. Naiknya NPL (Non Performing Loan) perbankan dikhawatirkan dapat memicu krisis sistemik perbankan domestik.

Yang jauh lebih dahsyat dan mengerikan terkait akumulasi utang pemerintah daerah di China sejak tahun 1990 an sampai sekarang.

Demi mewujudkan kota-kota modern, maka digenjot massif pembangunan infrastruktur dengan biaya pinjaman yang total nilainya sebesar US$15,3 triliun atau hampir Rp 230.000 triliun, sedangkan Goldman Sachs memperkirakan US$23 triliun.

Pinjamannya berasal dari berbagai institusi keuangan domestik, pemerintah pusat, dan investor global.

Dari tekanan global dan domestik tergambar krisis di sektor manufaktur, sektor properti, dan ancaman krisis perbankan menyebabkan terjadinya ledakan pengangguran di kalangan usia muda berpendidikan.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan