Jejak Maritim Indonesia: Dari Prinsip Kebebasan hingga Kolonialisme

  • Bagikan
Ilustrasi. (IST)

Dalam perjanjian itu, VOC memastikan hanya mereka yang berhak berdagang bebas di Makassar, sementara rakyat Makassar dilarang berlayar tanpa izin dari Komandan Belanda. Hukuman bagi pelanggar adalah penyitaan harta atau hukuman mati.

Dominasi VOC di jalur strategis seperti Laut Flores, Laut Banda, dan Selat Makassar menandai babak baru dalam sejarah maritim Indonesia. Namun, kebijakan mare clausum (laut tertutup) yang diterapkan VOC bertentangan dengan prinsip mare liberum (laut bebas) yang dikembangkan oleh Hugo de Groot, seorang tokoh Belanda dan Bapak Hukum Internasional.

Dalam bukunya Mare Liberum (1608), Grotius menegaskan bahwa laut adalah wilayah tanpa batas yang tidak dapat dimiliki oleh siapa pun. Meski demikian, VOC mengesampingkan prinsip ini demi monopoli perdagangan rempah.

Sejarah laut di Indonesia juga mencerminkan pentingnya peran maritim dalam jaringan perdagangan global. Komoditas seperti cengkeh, pala, lada, dan emas dari Nusantara menjadi barang dagangan yang sangat diminati di pasar internasional.

Pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Makassar dan Donggala menjadi titik temu pedagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk pelaut Bugis, Mandar, Inggris, dan Belanda. Bahkan, komoditas tertentu dari Teluk Tomini diperdagangkan hingga Singapura, memperlihatkan luasnya jaringan maritim Nusantara.

Namun, dominasi asing terhadap jalur-jalur perdagangan ini membawa dampak besar bagi masyarakat Indonesia. Serangan Amerika Serikat ke Aceh pada abad ke-19, yang berlatar belakang perdagangan lada, serta penaklukan wilayah-wilayah strategis oleh VOC, menunjukkan betapa laut menjadi arena perebutan kekuasaan yang tidak hanya memengaruhi sejarah lokal, tetapi juga sejarah global.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan