Abd Kahar Muzakkar: Perjuangan yang Berubah Arah
Sementara itu, Abd. Kahar Muzakkar muncul sebagai sosok yang mengemban tanggung jawab besar pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Pada 1949, ia diangkat menjadi Komandan Grup Seberang untuk mengkoordinasi gerilyawan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Di Sulawesi Selatan, ia membentuk Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) guna menyatukan kelompok gerilya yang terpencar.
Namun, upaya Kahar Muzakkar untuk mengintegrasikan anggotanya ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak berjalan mulus. Usulannya agar para gerilyawan diterima sebagai prajurit dan membentuk Brigade Hasanuddin ditolak oleh Kolonel Kawilarang, Panglima Teritorium Indonesia Timur. Kegagalan ini memicu kekecewaan mendalam di kalangan anggota KGSS.
Pada 1 Juli 1950, Kahar Muzakkar menyerahkan pangkat Letnan Kolonelnya dan menyatakan diri keluar dari TNI. Ia kembali memimpin KGSS dan memilih bergerilya di hutan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Pada 1953, ia menyatakan kesetiaannya kepada Negara Islam Indonesia (NII) di bawah imam besar Kartosuwiryo. Dua belas tahun kemudian tepatnya tanggal 1 Februari 1965 tentara menemukan sebuah gubuk di tepi sungai Lasolo yang diduga sebagai tempat persembunyiannya.
Refleksi Sejarah
Kisah Andi Abd. Azis dan Abd. Kahar Muzakkar adalah cerminan dilema sejarah bangsa yang sedang mencari jati diri. Keduanya dianggap melakukan pelanggaran berat menurut hukum negara, tetapi di mata sebagian masyarakat Bugis, tindakan mereka memiliki makna berbeda. Dalam konsep budaya tradisional Bugis, perbuatan mereka dapat digolongkan sebagai "Riuno," sebuah pelanggaran besar yang layak dihukum berat.