Jemput-jemput Pejabat

  • Bagikan
Dr Iqbal Mochtar (Pengurus PB IDI dan Ketua Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa)

Saat jalanpun, mereka dikawal patwal dengan mobil ‘ngiung-ngiung’. Kegiatan jalanan harus terhenti agar mereka jalan.

Ini bukan hanya pemborosan tetapi penghamburan. Untuk menjemput seorang pejabat ini, para Gubernur, Bupati, Kepala Dinas dan rombongannya harus meninggalkan tugasnya.

Padahal tugas mereka sangat bejibun. Tugas mereka seharusnya melayani rakyat; bukan jemput-jemputan. Mereka orang yang sangat sibuk. Untuk menemui seorang Kepala Dinas saja kadang harus antri berhari-hari; giliran jemput pejabat, mereka sukarela datang.

Padahal, katanya sibuk. Seolah ada kesan bahwa seorang pejabat adalah orang sangat terhormat dan vulnerable yang harus dijemput. Kalau enggak dijemput, sang pejabat bakal kesasar. Atau mungkin bakal dijambret. Ya enggaklah. Mereka kan datang dengan asisten pribadi dan pengawal. Lantas ngapain dijemput-jemput. Seolah mereka tidak terhormat bila tidak dijemput. Dan seolah penjemput baru sah menjadi anak buah kalau menjemput pejabat.

Ini mental feodalisme. Mental yang muncul dari sistem patronase dan clientelisme, yang sudah tidak tepat diterapkan didunia AI saat ini.

Siapapun pejabat datang, ya Menteri, Anggota DPR, Gubernur, Bupati, tidak perlulah jemputan beraneka ragam. Wasting time dan wasting resources. Bayangkan kalau ada ratusan pejabat yang setiap hari melakukan kunjungan daerah, berapa ribu rombongan yang terlibat dalam penjemputan. Dan berapa banyak uang dan waktu yang terbuang.

Tangiable dan intangiable resources musnah begitu banyak hanya karena jemput-menjemput para pejabat ini. Pejabat sekarang disuruh pakai kelas ekonomi saat terbang; memang ada penurunan biaya. Tapi penghematan akibat penggunaan kelas ekonomi tidak ada artinya dibanding seremoni penjemputan mereka. Artinya, masuk satu koin kantong kanan, keluar sepuluh koin di kantong kiri. Mia-mia. Podowae.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan