FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan makam tua di desa Bumiharjo terletak di utara candi Borobudur kurang lebih 1,82 km, yang diyakini merupakan prajurit Pangeran Diponegoro.
Gus Farid Wibawa atau disebut KRT Dhipo Yudho Joyo Sentolo Pengageng Padepokan Diponegaran Sodongan Desa Bumiharjo Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang memaparkan cerita keberadaan makam itu berawal dari budaya tutur adalah makam seorang prajurit pasukan Diponegoro di perang Jawa
“Tokoh di makam itu menurut cerita tutur adalah seorang pejuang perempuan laskar Pangeran Diponegoro di wilayah utara candi Borobudur,” ungkapnya, Minggu (23/2/2025).
Sosok pejuang perempuan tersebut, kata Gus Farid, Gondowati atau BRAy Gondowati merupakan istri selir ke-13 Sultan Hamengkubuwono II yang selalu berjuang bersama laskar Gondho Wulung.
Kawasan candi Borobudur adalah saksi bisu pertempuran dahsyat pasukan Pangeran Diponegoro melawan Belanda.
Kepada fajar.co.id, Heru Subagia mengutarakan, sebagai upaya melestarikan sejarah semestinya dari pemerintah pusat dalam hal ini Mendes PDT membantu Pemdes untuk ikut serta bagaimana menjaga tempat yang bersejarah dengan merevitalisasi sehingga kearifan lokal terjaga.
"Apalagi keberadaan makam tua tersebut adalah makam prajurit Pangeran Diponegoro saat perang Jawa dan para pegiat budaya maupun sejarawan menyebutnya makam Gondowati, seorang perempuan," ungkapnya, Selasa (25/2/2025).
Menurutnya, revitalisasi makam Gondowati, yang diyakini sebagai pejuang prajurit perempuan Pangeran Diponegoro segera diupayakan. Hal ini, merupakan bentuk dukungan upaya menvitalkan kembali suatu kawasan, bagaimana menerapkan jas merah dan menghargai sejarah situs budaya yang ada di Dusun Sodong Desa Bumiharjo.
"Tujuan revitalisasi makam Gondowati menjadikan wisata religi di Dusun Sodong, Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang menjadi potensi yang ramai dikunjungi wisatawan. Tidak hanya warga sekitar, juga dari berbagai pelosok nusantara," ujar pria kelahiran Bumiharjo yang saat ini berdomisili di Cirebon.
Bayangan mengenai wanita Jawa yang lemah gemulai, kata Heru, menjadi kanca wingking, dan menjalani 3M (masak, macak, manak) akan buyar bila mendengar kisah Gondowati, pasukan perempuan saat perang Jawa pecah pada 1825.
"Peran perempuan prajurit Diponegoro yang belum diungkap hampir seratus tahun sebelum pengarang Habis Gelap Terbitlah Terang, RA Kartini," katanya.
Bahwa benar ide gagasan emansipasi dan sejarah feminisme ketika zaman kolonial dipelopori oleh RA. Kartini (1879 – 1904), kata Heru, namun jika ditelusuri lebih jauh pada era prakolonial Jawa, banyak perempuan mengambil peran penting dalam berbagai urusan, baik politik dan ekonomi, maupun budaya dan agama di masyarakat.
"Para perempuan dari kalangan bangsawan seperti Raden Ayu Yudokusumo dari Yogya dan Nyai Ageng Serang juga gigih melawan Belanda baik angkat senjata maupun menyusun taktik perlawanan.
Di bidang ekonomi, perempuan dari lingkungan istana seperti Ratu Kencono Wulan. Bidang sastra, pengumpul dan penyalin teks yang berkaitan dengan Islam Jawa. Ada Ratu Pakubuwono dan penulis perempuan Raden Ayu Danukusumo," paparnya.
Lebih lanjut, kata Heru yang mengingat skripsinya soal feminisme, mengapa dalam surat-surat RA Kartini, kondisi perempuan Jawa tergambar begitu terpuruk dan terkungkung oleh feodalisme Jawa? Mengapa kondisinya berbeda dengan kondisi perempuan sebelum perang Jawa?
"Saya kira ini adalah tantangan dan koreksi kita, khususnya aktivis dan peneliti gerakan perempuan untuk mengkaji lebih jauh tentang sejarah perempuan Indonesia dari abad 18 hingga zaman modern," pungkas alumni Fisipol UGM tahun 1996 ini. (*)