Bahkan, dugaan korupsi dalam pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72600 untuk Garuda Indonesia ditaksir mencapai Rp 9,7 triliun, serta proyek BTS 4G yang merugikan negara Rp 8 triliun.
“Semua kasus ini menunjukkan bagaimana lemahnya pengawasan terhadap keuangan negara dapat menggerogoti aset yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat,” tandas Hardjuno.
Danantara, yang memiliki mandat mengelola aset negara dalam jumlah sangat besar, menurut Hardjuno, justru berisiko menjadi skandal keuangan terbesar di Indonesia. Minimnya transparansi serta lemahnya sistem audit membuka peluang penyimpangan yang bahkan bisa lebih besar dibandingkan kasus Pertamina.
"Jika BLBI dan obligasi rekapitalisasi saja menyisakan lubang hitam keuangan yang sulit ditelusuri, maka Danantara—dengan portofolio aset yang lebih luas—bisa menjadi bom waktu yang lebih berbahaya bagi keuangan negara," tegasnya.
Hardjuno menekankan pentingnya pengawasan ketat dalam pengelolaan aset negara agar tidak jatuh ke tangan para politisi yang hanya mencari keuntungan pribadi. Ia mengingatkan bahwa negara harus menyerahkan pengelolaan Danantara kepada profesional yang memiliki rekam jejak bersih dan berintegritas, serta memastikan auditnya dilakukan oleh akademisi dan pakar independen.
“Jangan sampai Danantara jatuh ke tangan orang-orang yang hanya mencari keuntungan pribadi. Kita membutuhkan sistem audit profesional yang diawasi oleh publik, serta media yang berani mengungkap kebenaran. Jika dibiarkan, Danantara bisa menjadi salah satu bencana keuangan terbesar bagi bangsa ini,” tegasnya.