Penyitaan dan perampasan aset hasil korupsi masih menghadapi kendala hukum dan teknis. Seyogyanya RUU perampasan aset segera diterbitkan.
Adapun faktor yang menyebabkan penanganan kasus korupsi sering mengalami stagnasi yakni:
a. Kelemahan dalam Pembuktian
Pasal 26A UU Tipikor menyebutkan bahwa perhitungan kerugian negara dapat dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi sering terjadi perbedaan interpretasi antara lembaga auditor negara dan APH dalam menentukan nilai kerugian.
Penggunaan alat bukti seperti pemeriksaan ahli, dokumen keuangan, atau rekaman transaksi elektronik kadang tidak cukup untuk menjerat pelaku utama.
b. Intervensi Politik dan Lemahnya Independensi APH
Pasal 3 UU Tipikor mengatur bahwa penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara bisa dikategorikan sebagai korupsi, tetapi dalam praktiknya, pejabat tinggi sering mendapat perlindungan dari kelompok politik atau jaringan kekuasaan yang berkuasa.
Revisi UU KPK pada 2019 juga dianggap telah melemahkan independensi KPK dalam menangani kasus korupsi besar. Penolakan yang dilakukan sejumlah masyarakat tidak ditanggapi oleh pemerintah.
c. Kendala dalam Pemulihan Aset (Asset Recovery)
Pasal 18 UU Tipikor menegaskan bahwa aset hasil korupsi harus disita dan dikembalikan kepada negara, tetapi implementasinya sering menemui hambatan.
Banyak aset yang sudah dialihkan ke pihak ketiga atau disembunyikan di luar negeri, sehingga sulit untuk ditelusuri dan dikembalikan.
Seyogya untuk mempermudah APH bekerja perlu di dukung dengan UU Perampasan Aset.