Adapun Solusi dan Rekomendasi Akademik untuk mengatasi stagnasi penanganan korupsi mencakup:
a. Penguatan Penyelidikan dan Penyidikan
APH perlu lebih maksimal dalam menggunakan Pasal 26B UU Tipikor, yang memungkinkan kerja sama dengan lembaga internasional untuk menelusuri aset koruptor yang disembunyikan di luar negeri.
Penggunaan teknologi seperti forensik digital dan artificial intelligence (AI) dalam penelusuran transaksi keuangan.
b. Reformasi Sistem Peradilan dan Penuntutan
Mendorong penerapan Pasal 38C UU Tipikor, yang memungkinkan pembuktian terbalik terhadap tersangka korupsi agar membuktikan asal-usul hartanya.
Meningkatkan hukuman pidana dan perampasan aset agar menciptakan efek jera.
c. Penguatan Peran Masyarakat sebagai civil sociaty
Mendorong pelibatan Pasal 41 UU Tipikor, yang memungkinkan masyarakat berperan serta dalam pengawasan kasus korupsi.
Akademisi dapat mengembangkan kajian hukum progresif yang mendukung perubahan regulasi untuk menutup celah hukum yang sering dimanfaatkan oleh koruptor. Negara wajib memberi ruang Akademis dan bukan mengamputasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa mandeknya penanganan kasus korupsi bukan hanya disebabkan oleh faktor teknis hukum, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor politik, kelemahan regulasi, dan keterbatasan kapasitas APH.
Oleh karena itu, pendekatan sistemik yang mencakup penguatan regulasi, peningkatan kapasitas APH, transparansi peradilan, serta partisipasi akademisi dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan pemberantasan korupsi berjalan efektif sesuai amanat UU Tipikor.