Denny JA mengatakan bahwa penetapan nama ini bukan sekadar proses administratif, melainkan pencarian sosok yang telah membentuk wajah budaya di daerah masing-masing.
Bentuk Perayaan di Daerah
Satupena juga mendorong agar pemilihan nama penulis diikuti oleh berbagai kegiatan penghormatan, seperti:
- Seminar mengenai kehidupan dan karya penulis
- Pameran, peluncuran ulang, atau diskusi atas karya-karya mereka
- Konferensi pers untuk mengenalkan kembali sosok penulis kepada publik
- Pembacaan puisi, cerpen, serta testimoni dari rekan sejawat
- Webinar melalui platform daring
- Kolaborasi dengan pemerintah daerah, komunitas sastra, atau pihak swasta
“Dengan berbagai kegiatan ini, Satupena ingin memastikan bahwa nama-nama tersebut tetap hidup, tak hanya dalam buku-buku lama, tetapi juga dalam ingatan generasi masa kini dan mendatang,” ujar Denny.
Satupena dan Penjagaan Warisan Intelektual
Gerakan penghormatan kepada penulis daerah ini bukanlah program pertama yang dilaksanakan Satupena. Sebelumnya, Satupena telah menerbitkan program 100 Buku yang Membentuk Indonesia, yang mencakup karya-karya dari masa pra-kemerdekaan hingga era modern.
Beberapa karya yang terpilih antara lain Habis Gelap Terbitlah Terang (RA Kartini), Di Bawah Bendera Revolusi (Bung Karno), hingga Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer).
Selain itu, Satupena rutin memberikan penghargaan tahunan bagi para penulis dan menggelar talk show mengenai proses kreatif lebih dari 100 penulis Indonesia.
Tantangan Sastra di Era AI
Di sisi lain, Denny JA menyebutkan bahwa dunia sastra saat ini menghadapi tantangan baru di era kecerdasan buatan (AI).
“Jika dahulu penulis hanya bersaing dengan sesama manusia, kini kata-kata juga lahir dari mesin yang sangat cerdas,” ucapnya.
Meski demikian, menurut Denny, sastra tetaplah napas manusia, bukan sekadar hasil dari susunan algoritma.
“Sastra adalah kesaksian batin, pergulatan jiwa,” kata Denny. “Dan justru di era AI ini, kita perlu mengingat kembali bahwa sastra lahir dari pengalaman manusia.”