Mata uang yang diberlakukan oleh Belanda juga kurang diminati di pasar internasional, membuat transaksi semakin sulit.
Seiring meningkatnya penyelundupan dan perdagangan ilegal, Makassar tetap berhubungan erat dengan Singapura. Pada tahun 1847, Belanda mencoba bersaing dengan menetapkan Makassar sebagai pelabuhan bebas, meski dengan berbagai pembatasan. Kapal-kapal asing diizinkan berdagang, tetapi masih dihadapkan pada aturan ketat yang tidak sejalan dengan semangat perdagangan bebas.
Baru pada tahun 1850, Pemerintah Hindia Belanda mulai lebih serius mengembangkan perdagangan Makassar dengan membuka jalur pelayaran bersubsidi. Namun, pedagang dari Inggris dan Cina di Singapura telah lebih dulu menguasai pasar, terutama dalam ekspor hasil laut ke Tiongkok. Hingga tahun 1873, perdagangan Makassar mengalami tiga fase utama:
-Periode Pertumbuhan Pesat (1847-1873) – Didominasi oleh pedagang Inggris, Cina, dan lokal.
-Periode Keguncangan (1874-1891) – Persaingan ketat dan pembatasan pelabuhan bebas mulai diberlakukan.
-Periode Kepincangan (1892-1906) – Penurunan perdagangan akibat kebijakan kolonial yang semakin menekan.
Pada akhir abad ke-19, Belanda semakin khawatir dengan pengaruh pedagang Inggris dan Cina di wilayahnya. Mereka mulai memperketat kendali melalui Nederlandsch Handel-Maatschappij (NHM) dan mendirikan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) untuk menguasai jalur perdagangan Nusantara.
Akhirnya, pada tahun 1906, status pelabuhan bebas di Makassar dicabut, menandai berakhirnya masa kejayaan perdagangan yang pernah membuat kota ini menjadi pusat ekonomi di Indonesia bagian timur. (*)