Dia tidak segan berbagi kisah, bahkan untuk hal-hal yang lebih pribadi. Baginya, menjadi pendengar yang baik untuk anak jauh lebih baik dibandingkan jika anak-anak harus melimpahkan keluh kesahnya kepada orang lain.
Ia selalu memberi lebih dari apa yang ia miliki. Ia tak pernah keberatan jika anak-anaknya kalah dalam sebuah kompetisi, bahkan dijadikannya suasana itu bagian dari mendidik anak menjadi petarung.
Masalah rangking di sekolah, Budu tak pernah menunut banyak, tapi tatkala buah hatinya menyampaikan posisi mereka di kelas, disambutnya dengan apresiasi ala dia sendiri.
Anaknya senang sebab sekalipun tak menjadi nomor satu, mereka merasa dihargai orang tua. Karena menurutnya begitulah hidup, kalau tak ingin kalah jangan bertanding. Motivasi ini yang kemudian menumbuhkan rasa percaya diri anak-anaknya.
Tangan mungil anak-anaknya selalu ia genggam hingga mereka dewasa. Bahkan tak segan berpelukan dengan hangat seperti teman sendiri, itu sudah alamiah dan spontan bahkan menjadi kebiasaan sehari-hari.
Kehangatan dan ikatan batin ini terjalin kuat sejak putra putrinya belia hingga saat ini. Itu adalah modal penting untuk bisa menjalin kebersamaan dan rasa sehati dengan anak-anak, maka jika ada masalahnya mereka larinya ke orang tua sebagai yang terdekat.
Prof Budu adalah suami setia, ayah yang lembut dan penyayang, namun pekerja keras. Tak pernah sekalipun pita suaranya meninggi. Dia melakukan segalanya demi kebahagian keluarga. Ia memposisikan diri lebih dari sekedar ayah, tapi juga sahabat terbaik bagi mereka.