Akibat kondisi tersebut, Sokib memutuskan untuk memanen sendiri sawah miliknya dan menyimpan hasil panennya di rumah sambil menunggu harga membaik.
“Ini sawah yang lain saya panen sendiri, sebab padinya sudah tuek, sudah tengkluk-tengkulak,” cetusnya.
Ia menambahkan bahwa masih banyak lahan padi di desanya yang belum dipanen karena kondisi pasar yang tidak berpihak pada petani.
"Itu tadi, sebab nggak ada bakul, apalagi dari Bulog,” tegasnya.
Sementara itu, di Kecamatan Ngoro, harga gabah relatif lebih tinggi dibandingkan Jombang, meski tetap berada di bawah HPP.
Petani di Desa Pulorejo, Mustajib, menyebut harga gabah di wilayahnya mencapai Rp 6.200 hingga Rp 6.300 per kilogram.
"Harganya masih di bawah HPP, tapi masih lumayan bagus,” ujarnya.
Mustajib juga mengaku lebih memilih menjual gabah ke tengkulak ketimbang ke Bulog. “Memang seringnya ke tengkulak lebih cepat,” tegasnya.
Koordinator PPL Kecamatan Jombang dari Dinas Pertanian, Widiyawati, membenarkan bahwa mayoritas petani masih menjual ke tengkulak.
Salah satu alasannya adalah kepemilikan mesin combine yang banyak dikuasai tengkulak, sehingga petani enggan repot mencari alternatif lain.
"Karena mesin combine banyak yang dikuasai tengkulak. Sehingga petani tidak mau ribet lagi,” jelasnya.
Ia menyebutkan, saat ini harga pembelian gabah oleh tengkulak di Desa Plosogeneng berkisar antara Rp 6.100 hingga Rp 6.200 per kilogram.
Terkait kasus di Desa Sumberjo, Widiyawati memastikan pihaknya akan melakukan pengecekan langsung ke lapangan dalam waktu dekat. (Muhsin/Fajar)