Di balik semangat dan potensi yang mereka miliki, banyak yang diam-diam terjebak dalam tekanan psikis, gangguan mental, dan krisis identitas.
Dunia kerja yang serba cepat menuntut hasil instan tanpa menawarkan jaminan maupun kenyamanan emosional.
“Ini bukan bonus, tapi beban,” katanya tegas.
Selain itu, ia juga menyoroti adanya kesenjangan cara pandang antar generasi. Sementara generasi muda mendambakan ruang kolaboratif dan inovasi, generasi sebelumnya masih terpaku pada pendekatan konservatif.
Ketika ide-ide segar dari anak muda tidak mendapat ruang dalam proses pengambilan keputusan, yang terjadi bukan hanya matinya gagasan, tapi juga surutnya kepercayaan terhadap institusi.
“Ketika ide-ide segar dan aspirasi terhenti di meja birokrasi, bukan hanya gagasan yang mati, tapi juga semangat untuk percaya,” ujarnya.
Fenomena urbanisasi besar-besaran juga tak luput dari sorotan. Anies mencatat bagaimana desa dan kota kecil mulai kehilangan generasi mudanya, sementara kota besar berkembang secara tidak teratur.
Tanpa perencanaan jangka panjang, urbanisasi justru memicu beban infrastruktur, kemacetan layanan publik, dan krisis ruang tinggal.
“Yang tumbuh bukan kota-kota penuh harapan melainkan wajah baru ketimpangan,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung masalah pekerjaan informal yang kian menjamur di kalangan muda.
Walau tercatat bekerja, namun banyak dari mereka hidup tanpa kepastian dan perlindungan sosial. Mereka terlihat aktif, namun pada kenyataannya, hidup dalam kerentanan.
“Disebut aktif, tapi sejatinya rapuh,” kuncinya. (Muhsin/Fajar)