“Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa KPK tidak dapat menangani kasus korupsi di BUMN karena kewenangan KPK berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 terbatas pada kasus yang melibatkan penyelenggara negara, aparat penegak hukum atau menimbulkan kerugian negara di atas Rp1 miliar.
Namun, jika kasus korupsi di BUMN menyebabkan kerugian negara di atas Rp1 miliar atau melibatkan pihak lain yang terkait dengan penyelenggara negara, KPK tetap dapat menanganinya,” terangnya.
Selain itu, status non-penyelenggara negara tidak menghalangi penegakan hukum jika ada indikasi fraud atau korupsi.
“Jika ada pandangan terkait dengan anggapan sebagai bentuk “penyelundupan hukum” yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi dengan memberikan “karpet merah” bagi penyelewengan, tinggal dibuktikan dengan action will dan optimisme para penegak hukum khususnya
@KPK_R dan @KejaksaanRI.”
Pada dasarnya, Didik mengklaim KPK dan Kejaksaan sangat optimis bahwa penindakan hukum terhadap Direksi, Komisaris dan pegawai BUMN yang melakukan penyimpangan atau fraud yang bisa merugikan keuangan negara akan ditindak dengan tegas, tanpa pandang bulu.
“Jadi, Direksi, komisaris, dan pegawai BUMN tidak kebal hukum dan tetap dapat dijerat karena korupsi, jika perbuatan mereka memenuhi unsur tindak pidana korupsi sesuai UU Tipikor,” pungkasnya.
“Namun, perubahan status menjadi non-penyelenggara negara memang berpotensi membatasi kewenangan KPK dalam beberapa kasus korupsi di BUMN,” sambungnya.
(Arya/Fajar)