Artificial Intelegence (AI) dan Ancaman Dehumanisasi dalam Dunia Pendidikan

  • Bagikan
Oleh: Mustamin Raga, Dosen Luar Biasa Institut Teknologi dan Bisnis NOBEL Makassar

Oleh: Mustamin Raga, Dosen Luar Biasa Institut Teknologi dan Bisnis NOBEL Makassar

DALAM perjalanan sejarah manusia, perkembangan teknologi selalu menjadi penanda zaman. Dari ditemukannya roda, listrik, hingga internet, peradaban kita melompat maju berkat inovasi-inovasi besar. Salah satu loncatan paling monumental dan fenomenal abad ini adalahkehadiran Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Sejak diperkenalkan pada tahun 1956 dalam Konferensi artmouth, AI perlahan bertransformasi dari konsep ilmiah menjadi kekuatan nyata yang mengubah lanskap kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan.

Kini, AI bukan lagi sekadar alat bantu. Ia telah menjelma menjadi mesin cerdas yang bisa mengajar, menilai, bahkan memandu perjalanan akademik seorang siswa. Dalam banyak hal, AI membawa janji kemajuan: akses belajar yang lebih merata, pembelajaran yang dipersonalisasi, dan administrasi pendidikan yang lebih efektif dan efisien. Namun, di balik cahaya gemerlap itu, tersembunyi bayangan gelap yang jarang dibicarakan bahkan seolah jarang terlihat dengan kasak mata, yakni bahaya dehumanisasi dalam dunia pendidikan.

Sejak awal 2000-an, dunia pendidikan mulai mengadopsi AI dalam bentuk sistem
pembelajaran adaptif. Platform seperti Knewton dan DreamBox menawarkan pengalaman belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. Memasuki era 2010-an, AI merambah lebih jauh: chatbot edukatif, analisis performa siswa, hingga deteksi emosi lewat ekspresi wajah.

Pandemi COVID-19, kemudian, mempercepat adopsi AI secara massif. Di tengah
keterbatasan interaksi fisik dan interaksi sosial secara langsung, banyak lembaga pendidikan beralih ke platform berbasis AI untuk menjaga kontinuitas pembelajaran. Namun, akselerasi ini sering kali mengabaikan satu hal penting: pendidikan bukan hanya tentang efektivitas teknis, melainkan tentang membangun manusia seutuhnya.

Ketika Pendidikan Menjadi Sekedar Transaksi Data

Dehumanisasi berarti mereduksi manusia menjadi sekadar objek, angka, atau fungsi. Dalam dunia pendidikan, dehumanisasi terjadi ketika siswa dan guru tidak lagi berinteraksi sebagai manusia, melainkan sebagai "pengguna" dan "sistem". AI, dengan segala kemampuannya, perlahan menggeser peran guru sebagai sosok inspiratif menjadi sekadar operator sistem pembelajaran.

Bayangkan seorang siswa yang tengah bergumul dengan masalah keluarga berat. Sistem AI mungkin tetap mengirim notifikasi tugas tanpa peduli pada kondisi emosionalnya. Atau seorang guru yang dipaksa bergantung pada algoritma untuk memberikan umpan balik, kehilangan kesempatan untuk menawarkan nasihat pribadi yang penuh empati.

Dalam situasi seperti ini, pendidikan kehilangan jiwanya. Ia menjadi transaksi data, bukan lagi proses membentuk manusia seutuhnya.

Risiko Dehumanisasi yang Mengerikan

Dehumanisasi dalam pendidikan membawa konsekuensi serius. Pertama, hilangnya sentuhan emosional. Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan; ia adalah tentang nilai, karakter, dan empati. Tanpa kehadiran manusia sejati dalam proses belajar, siswa akan kehilangan teladan hidup yang seharusnya mereka lihat dalam diri guru.

Kedua, isolasi sosial. Ketika interaksi digantikan oleh layar dan chatbot, rasa kesepian dan keterasingan dalam diri siswa dapat meningkat. Mereka mungkin mahir dalam mengerjakan soal, tetapi gagap dalam berinteraksi sosial, berempati, dan bekerja sama.

Ketiga, pendidikan terjerumus menjadi komoditas. Fokus utama bergeser dari pertumbuhan pribadi menjadi perolehan nilai, sertifikat, atau penghargaan digital. Pendidikan yang sejatinya membebaskan menjadi sekadar jalur produksi massal.

Mencegah Dehumanisasi: Menjaga Pendidikan Tetap Manusiawi AI dalam pendidikan tidak bisa dan tidak perlu dihentikan. Namun, penggunaannya harus diiringi dengan kesadaran mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan. Ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil:

Pertama, AI harus ditempatkan sebagai alat bantu, bukan pengganti manusia. Guru tetap harus menjadi pusat dalam proses pendidikan, dengan AI mendukung, bukan mengambil alih perannya.

Kedua, kebijakan etis penggunaan AI perlu disusun dan ditegakkan. Prinsip-prinsip seperti privasi, keadilan, empati, dan keberagaman harus menjadi fondasi dalam desain dan implementasi teknologi pendidikan.

Ketiga, pendidikan berbasis relasi harus diperkuat. Diskusi tatap muka, proyek kolaboratif, mentoring personal, dan kegiatan sosial harus menjadi bagian integral dari kurikulum, untuk menjaga sentuhan manusiawi dalam pembelajaran.

Keempat, guru perlu dibekali keterampilan humanistik yang lebih kuat. Kemampuan untuk mendengar aktif, memahami konteks sosial-emosional siswa, dan menjadi teladan nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi prioritas utama dalam pengembangan profesi guru.

AI adalah masa depan, dan pendidikan tidak bisa menolak perubahan. Namun, kemajuan teknologi harus selalu diimbangi dengan penjagaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan sejati bukan sekadar tentang apa yang diketahui seseorang, melainkan tentang siapa seseorang itu.

Jika kita membiarkan dehumanisasi menggerogoti dunia pendidikan, maka kita tidak hanya akan kehilangan esensi pendidikan, tetapi juga masa depan manusia itu sendiri. Mari kita pastikan bahwa dalam setiap algoritma cerdas yang kita ciptakan dan kita gunakan, tetap ada ruang bagi kehangatan, empati, dan kasih sayang manusia. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan