Lebih lanjut, Bamsoet menilai bahwa perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan aspek penting dalam memperkuat sistem hukum dan keuangan negara. Namun, ia mengakui bahwa sistem hukum yang ada masih memiliki keterbatasan.
"Meski Indonesia telah memiliki payung hukum seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, efektivitasnya dalam menjamin pemulihan aset secara optimal masih dipertanyakan," ujarnya.
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa total kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2020–2024 mencapai Rp45,7 triliun. Namun, pemulihan aset melalui mekanisme yang ada baru menyentuh angka sekitar Rp2,5 triliun.
Menurut Bamsoet, ketergantungan terhadap putusan pidana, keterbatasan teknologi pelacakan aset, dan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum menjadi tantangan utama dalam proses pemulihan aset lintas yurisdiksi.
Ia juga mengingatkan bahwa implementasi RUU Perampasan Aset kemungkinan akan menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi politik, kapasitas kelembagaan, maupun aspek konstitusional.
"Meski menjanjikan, implementasi RUU Perampasan Aset di Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik, keterbatasan kapasitas kelembagaan, hingga isu konstitusionalitas terkait asas praduga tak bersalah dan perlindungan hak milik," kata Bamsoet.
Meski demikian, ia menegaskan pentingnya komitmen dan keseriusan seluruh pemangku kepentingan agar RUU tersebut dapat memperkuat sistem pemulihan aset dan memberikan dampak signifikan terhadap pemberantasan kejahatan ekonomi di Tanah Air. (*/ant)