Menjemput Harapan Baru: Kembalinya Ilham Arief Sirajuddin Sebagai Nahkoda Golkar Sulsel

  • Bagikan

Kepercayaan publik begitu tinggi karena Golkar mampu menjaga konsistensi dan menghadirkan figur-figur pemimpin yang visioner dan bersih. Namun, pasca reformasi dan masuknya era desentralisasi, tantangan internal mulai muncul.

Konsolidasi kader terganggu oleh friksi antar kelompok. Regenerasi kepemimpinan tidak berjalan optimal, dan konflik internal menjadi momok yang merongrong soliditas partai. Basis massa tradisional yang dulu loyal, mulai beralih ke partai-partai baru yang lebih adaptif, seperti NasDem dan Gerindra. Golkar mulai tampak kehilangan arah dan kesulitan menghadirkan figur pemersatu yang kuat.

Kondisi ini semakin kompleks pada era Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang memimpin Sulsel sebagai Gubernur dua periode dan menjadi figur dominan di tubuh Golkar. Ia memiliki pengaruh besar, tetapi juga menghadapi tantangan ketika kepemimpinannya digantikan oleh Nurdin Halid yang ditunjuk oleh DPP.

Pergeseran ini memicu friksi internal dan memperlemah struktur partai. Meski SYL tetap dihormati sebagai tokoh senior, konflik dengan kubu DPP memperlihatkan kurangnya mekanisme penyelesaian konflik yang sehat di tubuh Golkar.

Setelah era SYL, Taufan Pawe yang merupakan Wali Kota Parepare, diangkat menjadi Ketua DPD I Golkar Sulsel. Namun, bukannya memperkuat partai, kepemimpinan Taufan justru memicu berbagai ketegangan baru.

Musyawarah Daerah (Musda) Golkar pada 2020 meninggalkan luka akibat tidak tuntasnya proses formatur. Banyak kader senior dan junior merasa diabaikan. Muncul gerakan mosi tidak percaya, laporan antar elite, dan ketidakpuasan dari berbagai pihak. Konflik ini berlanjut hingga muncul wacana Musda Luar Biasa (Musdalub).

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan