Ia menilai bahwa keberadaan pejabat tinggi ormas Islam terbesar itu di perusahaan tambang justru menunjukkan kontradiksi dengan semangat pelestarian lingkungan yang selama ini digaungkan.
"Emang ada merawat jagat dengan merusak lingkungan?," timpalnya.
Roy juga menyinggung berbagai inkonsistensi internal yang menurutnya kini sedang membayangi tubuh PBNU.
Ia menyoroti keterlibatan PBNU dalam sektor industri ekstraktif yang memiliki dampak besar terhadap krisis iklim global.
"Terus terang, PBNU sekarang ini banyak kontradiksi internal. Salah satunya, mau merawat jagat dan bangun peradaban, tapi nerima tambang batubara yang menyumbang 46 persen emisi karbon global. Di tambah sekarang salah satu pimpinannya jadi komisaris nikel," sebutnya.
Kata Roy, hal ini menjadikan PBNU secara institusional turut serta dalam praktik perampasan sumber daya alam dan kerusakan ekosistem.
“Ini namanya PBNU terlibat langsung dalam apropriasi atau penjarahan alam, perluasan geografi penghancuran ruang hidup, dan akumulasi primitif,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa posisi ini secara prinsip berlawanan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang mengedepankan keberlanjutan dan keselamatan semesta.
“Ini secara prinsip bertentangan dengan visi Islam yang menyelamatkan,” tandasnya.
Roy kemudian mempertanyakan apakah PBNU masih bisa bersikap objektif dan kritis terhadap praktik perusakan lingkungan, apabila secara struktural sudah berada dalam lingkaran kekuasaan dan ekonomi ekstraktif.
“So, apa iya PBNU akan bisa bersikap kritis dengan posisinya saat ini?” pungkasnya.