Konsep perencanaan dan pengeloaan sektor pertambangan khususnya produksi nikel di Indonesia kurang baik, khususnya tahapan penggalian dan penambangan ore nikel di tingkat tapak, dimana areal penggalian luas dan titik koordinat yang akan tambang sesuai Rencana Kerja Tahunan (RKAB), cenderung tidak akurat bahkan ada yang tanpa batas yang jelas.
Demikian pula rencana pengelolaan lingkungan pasca tambang yakni reklamasi dan revegetasi terkesan tidak sesuai kaidah konservasi lahan dan hutan. Perencanaan penjualan hasil ore nikel ke smelter khusunya pada IUP yang tidak terintegrasi dengan smelter, seolah-olah ore nikel adalah komoditas yang dapat di jual bebas.
Pada era Pemerintah Desentralisasi pemberian IUP kewenangan di tangan Bupati, dan Gubernur. Pada Era ini dokumen persyaratan teknis, administrasi dan persyaratan lingkungan terkesan sekedar memenuhi persyaratan aturan yang berlaku saat itu, tanpa telaan data kondisi lapangan secara seksama, sehingga dokumen teknis, dokumen lingkungan dan dokumen lainnya sebagai syarat terbitnya IUP Produksi terdapat masalah.
Baik bermasalah pada aspek potensi mineralnya yang tidak ekonomis, karena tidak berada pada batuan pembawa mineral, tapi berada pada kawasan kars batuan gamping, atau berada pada kawasan lindung atau hutan produksi yang status restorasi alam serta bermasalah karena over-lapping dengan kawasan perkebunan, lahan milik masyarakat atau lokasi IUP berada di area perkampungan.
Pelaksanaan eksplorasi yang tidak komprehensif dan tidak detail akan “menipu” studi kelayakan dan dokomen lainnya. Padahal studi eksplorasi sangat penting dan urgen guna mengetahui potensi terkira dan terukur, khususnya untuk mengetahui jumlah kandungan mineral bahan galian tambang di dalam areal IUP.