Data terkira, data terukur harus tersaji secara benar sesuai data booring yang mencamtumkan jumlah dan kualitas persentase isi kandungan bahan tambang sesuai kondisi lapangan. Seharusnya data eksploirasi sudah menampilkan data sebaran potensi yang sesuai kondisi lapangan dilengkapai dengan peta dengan titik koordinat yang jelas.
Fakta lapangan menunjukkan beberapa IUP Produksi komoditi nikel yang sudah terbit izinnya dan sudah ditayangkan di website Kementerin ESDM (MODI), baik di Sulawesi Tengah dan Tenggara potensinya tidak berada pada lokasi yang mengandung unsur logam khususnya batuan ultra-basal atau ultra mafik, namun berada pada kawasan bukan logam seperti kawasan kars (batuan gamping) dan IUP tersebut sampai saat ini tidak dapat beroperasi.
Masalah lain adalah, kapasitas terpasang industri smalter di Indonesia lebih besar dari kebutuhan dunia. Hal ini tentunya akan memicu eksplorasi besar-besaran cadangan sumber daya nikel Indonesia yang jumlah mencapai 4,5 milyar MT atau sekitar 38,64% cadangan nikel dunia. Kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi Indonesia masa akan datang atau Indonesia sedang “mengobral dan menguras” sumber daya alamnya, karena kapasitas terpasang smelter untuk produksi nikel Indonesia melebihi kebutuhan dunia.
Kondisi ini akan mengeksploitasi cadangan nikel indonesia secara “jorjoran” guna memenuhi kapasitas terpasang di masing-masing smelter. Mengapa Pemerintah Indonesia tidak menyesuaikan produksi bijih nikel sesuai kebutuhan pasar dunia, agar kelak Indonesia mendapatkan nilai tambah dan nilai jual yang lebih baik pada masa depan. Sementara predeksi kebutuhan bijih nikel dunia meningkat pada tahun 2045 sebesar 7,4 juta MT.