FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah mengkaji ulang peralihan kepemilikan empat pulau di Aceh yang menuai polemik setelah dikaitkan dengan wilayah Sumatera Utara. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pengkajian dilakukan secara mendalam dengan mempertimbangkan aspek sejarah, budaya, hingga penempatan suku.
“Gini, masalah empat pulau di Aceh itu sampai hari ini sebenarnya belum ada peraturan Mendagri yang mengatur tentang batas wilayah antara Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Singkil di Aceh. Yang ada itu adalah keputusan Menteri Dalam Negeri mengenai pengkodean pulau-pulau, itu memang sudah ada. Jadi semua pihak harap bersabar,” ujar Yusril kepada wartawan di Depok, Jawa Barat, Minggu (15/6/2025).
Yusril menyebut, keputusan pengkodean pulau oleh Kemendagri tidak serta-merta menetapkan batas wilayah antarprovinsi atau kabupaten. Oleh sebab itu, menurutnya, masih ada ruang untuk membahas dan memusyawarahkan status pulau-pulau tersebut demi menghasilkan keputusan yang terbaik.
“Kami berharap semua pihak bersabar menghadapi kenyataan ini karena memang keputusan tentang itu belum final. Penentuan batas wilayah itu berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diputuskan melalui peraturan Mendagri, bukan keputusan Mendagri yang ada,” ucapnya.
Yusril menjelaskan bahwa letak geografis pulau-pulau tersebut memang lebih dekat ke Tapanuli Tengah. Namun, kedekatan geografis bukan satu-satunya dasar dalam menentukan batas wilayah. “Ingin saya katakan bahwa penentuan kode-kode pulau itu memang menunjukkan bahwa pulau-pulau itu secara geografis lebih dekat ke Tapanuli Tengah dibandingkan dengan Kabupaten Singkil. Tapi sebelumnya kita ketahui bahwa kedekatan geografis bukan satu-satunya dasar untuk menetapkan sebuah pulau itu masuk ke dalam wilayah kabupaten atau provinsi mana,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa selain faktor geografis, pertimbangan sejarah dan budaya juga harus diperhatikan. “Jadi tentu ada faktor-faktor lain—faktor-faktor sejarah, faktor-faktor budaya, faktor-faktor penempatan suku, dan lain-lain di kawasan itu. Yang juga harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam memutuskan pulau itu masuk ke dalam wilayah provinsi atau kabupaten atau kota yang mana,” katanya.
Sebagai ilustrasi, Yusril mencontohkan beberapa kasus internasional yang serupa, seperti Pulau Natuna yang lebih dekat ke Sarawak, Malaysia, namun secara historis merupakan bagian dari Hindia-Belanda. Contoh lainnya adalah Pulau Miangas di Sulawesi Utara yang lebih dekat ke Mindanao, Filipina, namun tetap menjadi bagian dari Indonesia meski mayoritas penduduknya berbahasa Tagalog. Ia juga menyebut Pulau Pasir yang secara geografis lebih dekat ke Kupang, NTT, tetapi diakui sebagai wilayah Australia sejak tahun 1878.
“Jadi kalau kita lihat empat pulau ini mungkin secara geografis lebih dekat ke Tapanuli Tengah tapi harus dikaji aspek-aspek lain—sejarah, budaya, dan lain-lain agar pemerintah nanti akan memberikan keputusan yang adil dan bijak untuk semua pihak,” tutup Yusril. (bs-zak/fajar)