Aco juga menyinggung Permendagri No. 58 Tahun 2021 yang dijadikan dasar regulasi. Menurutnya, aturan itu tidak relevan untuk digunakan dalam pengubahan kode wilayah dan penetapan pulau saat ini.
“Perubahan ini semestinya melalui regulasi yang kuat, melibatkan DPR dan DPD RI, karena menyangkut hak konstitusional daerah dan pengelolaan kekayaan alam,” kata Aco.
Pemantik Sengketa
Direktur LOHPU ini menilai, regulasi tersebut tidak semestinya terbit secara sepihak. Apalagi, di tengah moratorium pemekaran wilayah yang masih berlaku.
Hal itu bisa menjadi pemantik konflik seperti yang sudah pernah terjadi, seperti sengketa: Pulau Lerelerekang antara Kalimantan Selatan dan Sulbar, Pulau Berhala antara Jambi dan Kepulauan Riau, dan Pulau Bala-balakang antara Kaltim dan Sulbar.
“Semua itu bermasalah karena adanya potensi sumber daya alam migas di pulau-pulau tersebut,” ungkap Aco.
Ia mengingatkan, konflik batas wilayah tak hanya merugikan satu pihak, tapi juga dapat memicu ketegangan antarprovinsi. Kondisi itu akan menghambat investasi, dan membuat rakyat kehilangan akses atas tanah airnya sendiri.
Aco pun mendesak pemerintah pusat segera meninjau ulang Kepmendagri ini, serta mendorong DPR RI dan DPD RI untuk memperkuat regulasi batas wilayah dalam kerangka undang-undang yang memiliki daya ikat hukum internal dan eksternal.
“Jangan sampai kebijakan administratif justru menjadi bahan bakar konflik geopolitik antar daerah di Indonesia,” terangnya.
Kewenangan Pusat
Sekretaris Provinsi Sulawesi Selatan Jufri Rahman menjelaskan, bahwa penetapan batas wilayah tersebut dihitung termasuk dari wilayah laut dan kepulauan. Pada saat pengukuran, pulau terluar dijadikan titik batas wilayah.