Gerakan puisi esai kini telah menjangkau banyak komunitas sastra di Asia Tenggara. Genre ini bahkan menjadi agenda utama dalam Festival Puisi Esai ASEAN yang telah diselenggarakan empat kali. Ia tidak hanya hidup di halaman buku, tetapi juga menjadi wacana budaya dan sosial lintas negara.
Berikut tujuh buku puisi esai karya Denny JA yang membentuk heptalogi ini:
1. Atas Nama Cinta (2012)
Mengangkat kisah cinta yang kandas akibat diskriminasi sosial.
2. Kutunggu di Setiap Kamisan (2018)
Menyoroti tragedi orang-orang yang hilang secara paksa dalam sejarah Indonesia modern.
3. Jeritan Setelah Kebebasan (2015)
Menggambarkan konflik berdarah dan harapan yang kandas pasca reformasi.
4. Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (2024)
Merekam suara-suara yang tertinggal saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
5. Mereka yang Mulai Teriak Merdeka (2024)
Menampilkan sosok-sosok pahlawan sebagai manusia biasa dengan luka dan konflik batin.
6. Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an (2024)
Menelusuri nasib mereka yang kehilangan kampung halaman akibat gejolak politik.
7. Yang Menggigil dalam Arus Sejarah (2025)
Menjadi jembatan antara sejarah lokal dan tragedi global yang membentuk nurani dunia.
“Sebab kemerdekaan sejati, seperti puisi, adalah keberanian untuk terus mendengarkan yang tak lagi punya suara,” tutup Denny JA. (*/eds)